Judul: Siapa Dia?
By: Adelia Putri Septiani
Bulan purnama bersinar anggun di atas sana, tak lupa juga taburan bintang yang berkerlap-kerlip mengelilinganya. Kali ini udara malam berhembus dengan kencang, membuat siapa saja harus mengeratkan jaketnya agar tidak kedinginan.
By: Adelia Putri Septiani
Bulan purnama bersinar anggun di atas sana, tak lupa juga taburan bintang yang berkerlap-kerlip mengelilinganya. Kali ini udara malam berhembus dengan kencang, membuat siapa saja harus mengeratkan jaketnya agar tidak kedinginan.
Taman ini begitu sunyi, hanya desahan angin yang terdengar lirih. Tak ada siapapun, cuma beberapa lampu taman yang menyala menerangi jalanan.
Aku menggeliat, meregangkan otot-ototku yang terasa kaku setelah tertidur di bangku ini. Syukurlah jika tidak ada orang, jadi aku tak perlu menanggung malu karena dianggap layaknya gembel yang tidak mempunyai rumah.
Kulirik jam yang melingkar indah di pergelangan tanganku. Hampir tengah malam. Pantas saja suasana di sini begitu menyeramkan.
Aku harus segera pergi dari sini.
Sejak kejadian minggu lalu, malam-malam di kota ini terasa suram. Semakin jarang orang keluar dari rumah, terlebih lagi jika hari sudah menjelang malam, padahal dahulu tempat ini bahkan menjadi destinasi wisata paling terkenal di negara Perancis.
Menurut kabar yang beredar, terdapat seorang psikopat gila yang akan mengelilingi kota ini pada malam. Sudah ada 6 korban, dan semuanya tewas mengenaskan. Tapi aku tidak percaya itu semua.
Sejak kejadian minggu lalu, malam-malam di kota ini terasa suram. Semakin jarang orang keluar dari rumah, terlebih lagi jika hari sudah menjelang malam, padahal dahulu tempat ini bahkan menjadi destinasi wisata paling terkenal di negara Perancis.
Menurut kabar yang beredar, terdapat seorang psikopat gila yang akan mengelilingi kota ini pada malam. Sudah ada 6 korban, dan semuanya tewas mengenaskan. Tapi aku tidak percaya itu semua.
Buktinya aku masih hidup sampai saat ini.
Mungkin mayat-mayat itu hanyalah korban perampokan atau hewan buas yang tak sengaja ditemukan berturut-turut. Para penduduk hanya menduga-duga tanpa bisa memastikan, pasalnya pihak kepolisian masih menyelidiki kasus-kasus tersebut, dan belum terbukti jika itu perbuatan seorang psikopat.
Kulangkahkan kaki jenjangku menuju gerbang taman ini, namun baru beberapa langkah sebuah suara mengagetkanku.
Kresek! Kresek!
Semak-semak yang berada tak jauh dariku bergoyang-goyang. Ah, mungkin itu hanya angin.
Kulanjutkan langkahku yang tertunda. Namun suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Aku segera memasang sikap waspada. Semprotan merica sudah tergenggam erat di tangan.
Jangan-jangan itu perampok.
Tapi bunyi berdebum yang nyaring mematahkan pendapatku itu. Dengan cepat kutolehkan wajahku ke belakang, hingga membuat leherku sakit karenanya.
Seorang laki-laki!
Kulanjutkan langkahku yang tertunda. Namun suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Aku segera memasang sikap waspada. Semprotan merica sudah tergenggam erat di tangan.
Jangan-jangan itu perampok.
Tapi bunyi berdebum yang nyaring mematahkan pendapatku itu. Dengan cepat kutolehkan wajahku ke belakang, hingga membuat leherku sakit karenanya.
Seorang laki-laki!
Aku berlari menghampiri tubuh yang terbaring lemas tersebut. Namun sepatu hak tinggi yang kupakai menyusahkanku, jadi kulepas saja benda terkutuk itu.
“Hei, kau tak apa-apa?” Astaga, bodoh sekali diriku ini. Mana mungkin dia baik-baik saja jika hampir pingsan di tengah taman seperti ini.
“Hei, kau tak apa-apa?” Astaga, bodoh sekali diriku ini. Mana mungkin dia baik-baik saja jika hampir pingsan di tengah taman seperti ini.
Kutepuk pelan pipinya, berusaha menyadarkannya. Sial, dia tak kunjung sadar! Bagaimana ini?! Tidak ada siapapun di sini kecuali kami, tak mungkin jika aku harus mengangkat tubuhnya—yang dua kali lebih besar dariku—untuk mengantarnya ke rumah sakit sendirian.
“Hei, bangunlah!” Kugoncang tubuh kekarnya dengan keras. Kuharap cara ini dapat membanggunkannya. Beberapa lama kemudian, mata dengan bulu mata lentik itu akhirnya mengerjap. Ah, syukurlah!
Dia bangun lalu berusaha untuk terduduk. Tangan kanannya mengurut kepalanya, mungkin dia merasa pening. Mata biru itu akhirnya melihatku, terlihat kerutan samar di wajah datarnya.
“Siapa kau?” Sudah kuduga dia pasti akan bertanya seperti itu. “Namaku Elza. Apa kau ingin ke rumah sakit?”
Dia memandangku aneh, tapi yang kuperhatikan adalah pelipisnya—yang baru kusadari—berdarah. “Astaga, kau berdarah.”
“Siapa kau?” Sudah kuduga dia pasti akan bertanya seperti itu. “Namaku Elza. Apa kau ingin ke rumah sakit?”
Dia memandangku aneh, tapi yang kuperhatikan adalah pelipisnya—yang baru kusadari—berdarah. “Astaga, kau berdarah.”
Kurogoh tasku dengan tergesa-gesa, mengacaknya untuk menemukan sebuah tisu. Dapat. Baru saja aku ingin mengusap lukanya untuk menghilangkan noda darah, namun tangan kanannya lebih dulu mencekalku. “Sudahlah, ini hanya luka kecil.”
Kutarik tanganku dari belenggunya. “Tapi jika tidak diobati, nanti akan infeksi.” Dia tak lagi menolak. Kudekatkan wajah dan tanganku, lalu mengobatinya dengan telaten. Dia hanya memandangku dari jarak sedekat ini, tapi itu mampu membuatku salah tingkah.
Kutarik tanganku dari belenggunya. “Tapi jika tidak diobati, nanti akan infeksi.” Dia tak lagi menolak. Kudekatkan wajah dan tanganku, lalu mengobatinya dengan telaten. Dia hanya memandangku dari jarak sedekat ini, tapi itu mampu membuatku salah tingkah.
“Apa yang terjadi sehingga kau hampir pingsan di sini?” tanyaku, berusaha untuk mengalihkan perhatian. Dia tak menjawab, hanya diam dan terus memperhatikanku. Aku makin salah tingkah dibuatnya.
Kumundurkan sedikit badanku, lalu merogoh isi tasku. Kuraih tangannya dan menegadahkannya. “Ini, pakailah!” Kuletakkan sebuah plester di tangannya yang menengadah.
Kumundurkan sedikit badanku, lalu merogoh isi tasku. Kuraih tangannya dan menegadahkannya. “Ini, pakailah!” Kuletakkan sebuah plester di tangannya yang menengadah.
“Aku harus segera pergi. Selamat tinggal!” Kubalikkan badanku, lalu segera melangkah. Namun sebuah tangan mencegahku. Aku menoleh, dan mendapati wajah pria itu tersenyum manis padaku. “Terima kasih,” ucapnya terdengar senang. Aku hanya mengangguk lalu melanjutkan langkahku setelah melepaskan cekalannya.
Setelah keluar dari komplek taman, segera kuhentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat di hadapanku. Untung masih ada taksi pada tengah malam seperti ini. “Jalan!”
Setelah keluar dari komplek taman, segera kuhentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat di hadapanku. Untung masih ada taksi pada tengah malam seperti ini. “Jalan!”
***
Beberapa hari kemudian.
Kulaui hariku seperti biasanya, memotret beberapa pemandangan indah di kota Paris ini menggunakan kameraku. Aku masih baru dalam bidang ini, karena itulah hasil jepretanku masih berkualitas standar.
Kulaui hariku seperti biasanya, memotret beberapa pemandangan indah di kota Paris ini menggunakan kameraku. Aku masih baru dalam bidang ini, karena itulah hasil jepretanku masih berkualitas standar.
Ckrik! Ckrik! Ckrik!
Kulihat secara teliti hasilnya. Hal ini membuatku tersenyum-senyum sendiri, mungkin aku akan dianggap gila oleh orang-orang yang lewat. Biarlah, aku tak peduli, yang terpenting adalah hasil potretanku yang semakin meningkat.
Ah, senangnya.
“Hai,” sebuah suara yang berat menginstrupsiku. Kudongakkan kepalaku, melihat si pemilik suara yang berani-beraninya menggangguku.
Siapa pria ini?
“Kau masih mengenalku?” dia bertanya dengan wajah tampannya yang datar, dan hanya kubalas dengan gelengan. Raut mukanya tetap datar, namun segurat kekecewaan terlintas di mata birunya.
“Aku adalah orang yang kau tolong di Bois de Bolougne waktu itu.”
“Oh, aku ingat sekarang.” Sudut bibir pria itu ikut tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman menawan yang mampu membuat wanita manapun terpesona—termasuk aku.
“Oh, aku ingat sekarang.” Sudut bibir pria itu ikut tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman menawan yang mampu membuat wanita manapun terpesona—termasuk aku.
“Aku ingin mengajakmu ke menara Eiffel nanti sore, ya ... anggap saja sebagai ucapan terima kasih.” Apakah ini ajakan kencan? Aneh sekali pria ini, kita baru bertemu beberapa hari yang lalu dan langsung mengajakku berkencan.
“Aku bahkan tak mengenalmu, bagaimana aku bisa me—”
“Aku bahkan tak mengenalmu, bagaimana aku bisa me—”
“Namaku Louis, kau bisa memanggilku Lou.” Dia langsung menjabat tanganku dengan semangat. “Sekarang kau mengenalku. Bagaimana ajakanku?” sekali lagi dia tersenyum, dan aku tak bisa menolak semua pesonanya yang ia tujukan kepadaku. “Baiklah, Lou.”
***
Kami—aku dan Louis—sedang berada di salah satu restoran yang berada di lantai dua menara Eiffel, menikmati hidangan masing-masing dalam keheningan. Restoran ini sangat sepi, dan membuatku bosan. “Kau kelihatan tidak suka. Apa masakannya tidak enak?”
Aku menggeleng. “Lalu?” Dia masih besikukuh ternyata. “Aku hanya ... tidak menyukai suasana ang sepi. Ini semua pasti karena berita itu!” tanpa sadar aku bersungut-sungut di hadapannya.
“Berita apa yang kau maksud?” tanyanya masih dengan menikmati hidangan yang tersaji.
“Tentu saja tentang psikopat itu!” Dia terlihat terkejut, namun berusaha menutupinya dengan wajah bosan. “Memangnya kau tidak takut dengan psikopat itu, seperti penduduk yang lainnya?”
“Tidak,” jawabku singkat.
“Tidak,” jawabku singkat.
Untuk kedua kalinya aku melihat ekspresi terkejutnya, dan kali ini dia tidak berusaha menutupinya, ia bahkan terlihat tertarik dengan topik yang satu ini.
Louis berdiri, lalu mengenggam tanganku erat menuju lift. Tangan kekarnya menekan tombol lantai 3 di panel itu, lantai tertinggi di menara Eiffel ini.
Kami berdua keluar, dan langsung mendapat sambutan dari musik klasik yang mengalun indah entah berasal dari mana. Darimana dia tahu jika aku menyukai musik klasik?
“Ingin berdansa, Elza?” tangan Louis terulur ke arahku. Tanpa ragu langsung kugenggam dan mengikuti setiap langkahnya untuk berdansa. Kedua lengannya melingkar di pinggangku, sedangkan tanganku terkalung di lehernya.
Dia telah menyiapkan ini semua. Hanya untukku. Astaga, manis sekali!
“Elza?”
“Iya?” Dia memutar tubuhku, lalu mendekapku dari belakang. Dan itu berhasil membuat jantungku berdegup tak karuan.
“Aku tahu mungkin ini terlalu cepat, tapi ada hal yang perlu kau ketahui. Sejak kejadian di taman itu, setiap hari aku mengawasimu dari jauh, memperhatikan setiap gerak-gerikmu. Lalu ... aku mulai mencintaimu.”
Dia benar, ini terlalu cepat. Tapi, aku sepertinya juga mulai mencintainya.
“Aku juga mulai mencin—”
Rasa pusing yang hebat tiba-tiba mendera kepalaku, membuatku mengerang keras karena kesakitan. Tubuhku bergetar. Keringat dingin mengucur deras dari seluruh tubuhku. Terakhir, pandanganku mulai mengabur.
Rasa pusing yang hebat tiba-tiba mendera kepalaku, membuatku mengerang keras karena kesakitan. Tubuhku bergetar. Keringat dingin mengucur deras dari seluruh tubuhku. Terakhir, pandanganku mulai mengabur.
Aku merasa tubuhku digoncang seseorang, Louis. “Astaga, ada apa denganmu?!” nada suaranya terdengar panik. Dia terus berteriak heboh di sampingku, namun aku takb mendengarkannya karena kegelapan yang segera menelan pandanganku.
***
Kukerjapakan berkali-kali mataku, menyesuaikan diri dengan cahaya bulan yang menusuk penglihatanku. Aku mencoba bangkit dengany terhuyung-huyung, kepalaku masih pening dengan semua hal yang terjadi.
Astaga!
Darah berceceran dimana-mana, menodai apa saja termasuk gaun yang kupakai. Tak jauh dari itu semua, seonggok mayat terbaring mengenaskan di antara genangan darah. Dan aku tahu wajah mayat itu, Louis.
Hingga aku menyadari sesuatu. Sebuah jantung tergenggam di tangan kananku yang berlumuran darah.
Oh tidak, ini terjadi lagi!
Apakah aku yang membunuhnya?
Apakah ... aku yang menjadi psikopat yang selama ini penduduk bicarakan?
Apakah ... aku yang menjadi psikopat yang selama ini penduduk bicarakan?
"Benar!" Suara itu ... dari dalam kepalaku. Siapa dia?
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar