Oleh: Adelia Putri Septiani
Daun-daun berguguran, disertai dengan angin dingin
yang berembus kencang, membuat siapa saja harus
merapatkan jaketnya agar tetap hangat. Kupandangi bulan purnama yang bersinar, merebakan cahayanya ke setiap sudut ruangan. Mungkin salju akan turun malam ini.
Semua hal yang ada di sini masih tetap sama. Semua barang-barang tertutup kain putih, berdebu, dan tak terawat. Dan aku masih tetap di sini, terperangkap dalam rumah mewah ini. Menyesapi setiap rasa kesepian, kesendirian, dan kegundahan, bahkan terselip rasa dendam—yang tak kuketahui kapan akan terbalaskan. Duduk termenung di kusen jendela sembari melihat cahaya rembulan di balik gorden, adalah satu-satunya kegiatan yang bisa kulakukan di bulan Desember kelabu kali ini. Huft! Aku bosan.
Kupejamkan mata, menikmati rasanya kesendirian.
Brum! Brum!
Kudengar suara deru mobil dari luar. Mungkin itu hanya orang kaya yang—biasanya—b
Tap! Tap! Tap!
Dapat kudengar ketukan sepatunya yang menggema, sepertinya ia berjalan menuju tempatku berada.
Pintu oak itu terbuka, memperlihatkan badan tegap seorang pria. Sekaligus wajah tampan seseorang yang kubenci dan kudendam. Ia menghampiriku, menatap dengan tatapan penuh cintanya. Kubalas tatapannya dengan dengan mata merah menyala marah—walaupun aku yakin ia tidak bisa melihatnya.
”Maafkan aku, Sayang.” Ia membelai lembut rambutku, menyalurkan rasa kasih sayang.
”Seharusnya kau lebih memilihku ... daripada pria miskin itu. Mungkin sekarang kau sudah menikah denganku.” Ingin sekali aku mencabik-cabik wajahnya, membalaskan dendamku. Sedangkan, ia tersenyum miris.
”Oh ya! Meskipun keadaanmu seperti ini ... aku tetap mencintaimu.” Ia mencium keningku, sungguh romantis namun membuatku muak.
Ia bangkit, ”maaf aku tak menguburkanmu.”
Ia pergi. Meninggalkanku dan mayatku.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar