Pages

Leo (The Zodiac)

Selasa, 12 April 2016


Leo (The Zodiac)
By: Adelia P.S
.
Matahari bersinar dalam keangkuhan. Panasnya menyorot tanpa ampun. Normalnya orang-orang akan berteduh, menenggak minuman dingin, dan bersantai. Namun tidak bagi tiga orang di tengah padang pasir itu.
.
"Stephen, apa benar peta yang kau bawa itu menunjukkan letak harta karun?" Evan bertanya dengan terengah-engah, keringat sudah membanjiri badan pemuda itu. Sejenak dia membetulkan letak ranselnya yang berisi berbagai perlengkapan.
"Kau tidak percaya padaku?" Stephen menjawab ketus, nada bicaranya terdengar kesal. Dan dia mendengus. Anehnya, hanya dia yang tidak terlihat kelelahan, padahal barang bawaannya lebih banyak dari kedua temannya. Kondisinya tetap bugar.
.
Evan dan Ellen saling pandang, lalu menggeleng bersama. "Ti-tidak, kami hanya ...," jeda sejenak, Ellen berusaha memikirkan alasan yang logis," sudah kelelahan. Ya, kami kelelahan."
.
Pemuda itu terlanjur jengkel, dia tidak mengacuhkannya. Stephen membentangkan lebar-lebar petanya, melihat, kemudian mencerna apa isinya. Aneh, dirinya bergumam dalam hati.
.
Kening Stephen yang berkerut malah berimbas pada Evan, dia penasaran. "Apa ada yang salah?"
.
Tidak ada jawaban, Stephen menyerahkan langsung lembaran tersebut. Evan menerimanya, Ellen juga ikut melihat saat peta itu dibuka. Dan seketika mereka bingung. "'Turuni tanah'? Apa maksudnya?"
.
Manik sekelam malam itu memandang sekitar, hanya pasir yang terlihat. Dia maju beberapa langkah, dan terasa ada yang janggal. Segera Stephen berjongkok, lalu menusuk pasir di bawahnya dengan jari. Ada sesuatu yang keras di sana. Buru-buru pemuda berambut coklat itu menggali langsung dengan tangannya, hampir terlihat. Telapaknya menyapu pasir-pasir tipis yang tersisa, dan dia menemukannya. Senyum kepuasan tercetak di bibir.
.
"Wah, ternyata ada pintu rahasia di sini," entah sejak kapan Evan dan Ellen berdiri melongok di belakang, mengagetkannya. Pintu kayu itu lebar, dan Stephen meneruskan galiannya hingga mencapai tepi pintu tersebut.
.
Lantas pemuda itu berdiri, bersidekap, dan memandang keduanya dengan congkak. "Cepat buka!" Stephen memerintah, layaknya seorang bos. Mulut Ellen baru saja membuka untuk membantah, tapi pemuda itu lebih dulu menyela, "Aku tidak menerima penolakan."
.
Setengah hati keduanya menuruti. Bersama-sama mereka menarik lingkaran besi yang terpaku di pintu bundar itu, yang diperkirakan berfungsi seperti kenop. Namun tidak terbuka. Lagi mereka mencoba, hasilnya tetap sama. Sekali lagi, masih tertutup. Dan tenaga sudah habis. Evan dan Ellen terkapar lemas sudah.
.
Memutar bola mata, Stephen berdecak. Kemudian dia berjongkok, pintu kayu di bawahnya tebal, tapi sudah lapuk. Terasa aneh jika bisa menampung berat tiga orang sekalligus. Sebuah ide merasuk dalam otaknya, meracuni dan berefek pada bibirnya, yang menyeringai penuh kekejaman.
.
Pemuda itu berdiri. Kemudian tanpa segan, dengan sekuat tenaga ia menghentakkan kaki jenjangnya. Retak mengerikan terdengar. Dan sebelum Ellen dan Evan sempat berpikir, mereka jatuh.
.
Byur!
.
Bukannya mendarat di timbunan besar pasir ataupun kerikil, mereka tercebur ke sebuah sungai. Tak ayal, semuanya basah, termasuk benda-benda penting seperti: kompas, bekal dan juga ... peta harta karun.
.
Tubuh ketiganya langsung terbawa derasnya arus air di bawah pintu itu. Aneh. Satu kata yang menggambarkan kebingungan Stephen. Bagaimana bisa sebuah sungai berada tepat di bawah gurun pasir? Perjalanan yang menarik, batinnya.
.
Sedikit kesal dia menoleh, dua manusia di sampingnya berteriak-teriak heboh. Namun saat dia kembali menghadap ke depan, dia tahu penyebabnya.
.
Sebuah air terjun menghadang perjalanan seru mereka. Alih-alih takut ataupun gemetar, dia tidak gentar. Malah merasa tertantang.
.
Segera dia melepas beban ransel yang masih menyangkut di punggungnya. Dengan sedikit usaha, ia merubah gesturnya menjadi telungkup, dan kepala sebagai pemimpin posisi. Gila. Apakah dia tidak tahu apabila karang-karang tajam menjadi dasar dari air terjun itu, ia akan langsung mengambang, tidak bernyawa?
.
Tidak menghiraukan segala resiko, saat ia berada di ujung air terjun, ambang antara nekat atau sinting, ia menahan napas lalu melompat bak penari indah, berputar beberapa kali, hingga akhirnya jatuh sempurna dalam danau biru yang penuh dengan ... entahlah.
.
Evan dan Ellen gelagapan. Mereka belum siap saat tercebur, alhasil, air langsung merasuk dalam tenggorokan, meneguknya paksa, dan segera menyesakkan dada.
.
Sembari melepas tas yang berusaha menenggelamkan mereka, kedua orang itu berusaha mengayuh kaki hanya untuk meraup oksigen.
.
Evan terlihat lebih dulu, menghirup udara sebanyak yang bisa ditampung paru-parunya yang terlanjur terisi air. Batuk hebat tidak dapat dihentikan.
.
Sejenak, pemuda itu menenangkan diri. Namun gagal saat menyadari Ellen tak juga muncul. Dan saat ia mulai panik, tubuh gadis itu mulai nampak, jasadnya mengambang.
.
Dia ... mati?
.
Detik selanjutnya, kepala Stephen mendadak timbul di permukaan air. Pemuda kekar itu berenang menepi dengan satu tangan dan kayuhan kedua kakinya. Dan saat bertemu dengan batu penuh lumut, ia bersyukur mencapi daratan.
.
Bunyi seretan terdengar saat ia dengan paksa menarik peti berkarat yang ia temukan secara—tidak—mengejutkan di dasar kolam.
.
Bugh!
.
Pukulan telak mengena mulus di pipinya, ia menoleh, kemudian mendapati Evan yang berdiri di belakangnya, terengah-engah dan marah. "Gara-gara kau Ellen mati!!"
.
Bugh!
.
Darah segar mengalir dari hidung mancungnya. Sebenarnya, akan sangat mudah mencekik ataupun menenggelamkan Evan ke dasar kolam, tapi dia tidak melakukannya.
.
Bugh!
.
Stephen suka memerintah, sewenang-wenang, dan juga arogan. Namun bukan berarti dia akan tega membunuh teman semasa SMA-nya dengan tangan sendiri.
.
Pukulan selanjutnya segera diluncurkan, tetapi .... Tik!
.
"Halo, Leo!"
.
"Namaku Stephen," dia memutar bola mata coklatnya, lalu melanjutkan, "ada apa kau kesini, Zo?"
.
Pria bertopeng itu mengangkat bahu, "Seperti biasa."
.
"Jawabanku tetap tidak." Perlahan Stephen melepaskan kerah bajunya yang masih tergenggam oleh Evan yang masih membatu.
.
Zo terkekeh, sinis. "Pemuda tersebut," dengan dagu pria itu menunjuk Evan, "akan terus memukulimu hingga mati. Dan kurasa, kau bukanlah tipe orang yang akan ... merenggut nyawa temanmu sendiri." Diakhir kalimat, Zo menyeringai.
.
"Dengan satu jentikan jari, aku bisa membuat pemuda labil ini akan melupakan dendam asmara yang tanpa sengaja kau ciptakan. Dirimu jelas tahu aku bisa melakukan itu, bukan?"
.
Hening.
.
Stpehen adalah orang dengan tipikal pemaksa, dan tidak suka dipaksa. Namun untuk kali ini, dia terpaksa mengangguk. "Baiklah, aku ikut kelompok anehmu itu."
.
Zo tersenyum. Rencananya berhasil. Bukan tanpa sebab jika Ellen tiba-tiba tidak bisa bergerak di dalam air.
.
"Selamat datang, Leo."
.
Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS