Miss Teryous
Prolog
Prolog
Tery berjalan pelan di koridor kampusnya, tatapan dingin tak pernah luput dari wajah cantiknya. Setiap orang yang melihatnya selalu mengalihkan pandangan, entah itu karena merasa takut dengan auranya yang memancar ataupun tidak tertarik.
Kuliahnya telah usai, saatnya ia pulang dan memulai hidup yang sesungguhnya. Namun ia tak menyadari, sepasang manik laki-laki terus memperhatikannya dari tadi. Senyum kecil selalu terukir di bibir pria itu, bahkan hingga sosok Tery telah hilang ditelan gerbang.
***
Siluet seseorang berjubah dengan tudung lebar tengah mengendap-ngendap memasuki sebuah rumah super mewah yang dijaga beberapa satpam tanpa ketahuan. CCTV ada dimana-mana, namun kegelapan dan jubah hitamnya menyamarkan keberadaannya. Tanpa keraguan, ia segera memasuki sebuah kamar dengan seonggok tubuh yang tertidur pulas di atas kasur.
***
Siluet seseorang berjubah dengan tudung lebar tengah mengendap-ngendap memasuki sebuah rumah super mewah yang dijaga beberapa satpam tanpa ketahuan. CCTV ada dimana-mana, namun kegelapan dan jubah hitamnya menyamarkan keberadaannya. Tanpa keraguan, ia segera memasuki sebuah kamar dengan seonggok tubuh yang tertidur pulas di atas kasur.
Ia mendekat. Lalu, mengeluarkan sebilah pisau tajam dari balik jubahnya. Dengan perlahan, sosok itu merangkak lalu berdiri di samping tubuh pria yang sedang tertidur pulas tersebut.
Pria itu mengkerjap-kerjapkan matanya, terganggu dengan kehadiran seseorang yang ada di atas kasurnya. Dengan setengah mengantuk, ia segera menyadari sesuatu.
Pria itu ingin berteriak, namun terlebih dahulu dibungkam dengan tangan halus sosok berjubah itu. Keringat dingin mengucur deras dari dahinya. Badannya bergetar oleh ketakutan. Namun ia sudah tak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan diri.
Senyum keji terpampang jelas di wajah sosok itu yang tersibak cahaya bulan purnama. Ia menikmati setiap ekspresi ketakutan orang yang ada di hadapannya. Namun ia tak ingin berlama-lama.
"Say "goodbye", My Victim."
Pisau itu menancap dalam di dada kiri sang pria. Tepat di jantungnya. Darah langsung mengucur deras bagaikan air mancur, membasahi pakaian tidurnya sekaligus jubah sosok yang membunuhnya. Tangan kirinya berusaha mencabut pisau yang masih ada di dadanya, dan berhasil. Namun sosok itu segera merebut pisaunya kembali dan langsung menggorok kepala korbannya.
"Terima kasih telah mengambilkannya untukku."
Sosok itu tersenyum puas. Tangan kanannya merogoh sesuatu di saku jubahnya. Sebuah kamera.
Ckrik!
Ia kembali menyimpan kameranya, tentu saja setelah mengambil foto jasad korbannya. Sosok itu dengan perlahan turun dari ranjang, lalu mengendap-ngendap keluar seperti sebelumnya dan segera kabur menuju rumahnya.
Tugasnya selesai.
***
***
21.30
Tery segera melepas jubah hitamnya dan langsung memasukaannya di mesin cuci, tentu saja untuk menghilangkan noda darah yang terciprat tadi. Kaki jenjangnya melangkah masuk ke arah kamar bernuansa vintage miliknya. Pandangannya mengedar ke segala arah untuk menemukan benda penting miliknya, sebuah laptop. Gadis cantik itu menghubungkan kameranya dengan laptop menggunakan sebuah kabel data. Tanpa basa-basi ia segera mengirim foto korbannya ke klien yang memintanya.
Tok tok tok
Tiba-tiba sebuah suara menginstrupsi kegiatannya. Seseorang sedang berkunjung ke rumahnya. Tery bergegas menuju pintu,tak lupa dengan berbekal sebilah pisau yang ia sembunyikan di balik punggungnya. Siapa tahu tamu itu adalah pembunuh lain yang mengincarnya atau pihak pemerintah yang sudah mengetahui identitasnya.
Cklek!
Tubuh atletis yang tegap sedang memunggunginya. Sebuket mawar merah tergenggam di tangan pemuda itu. Tery mengerutkan keningnya. Setahunya, tak ada yang mengetahui rumahnya kecuali dirinya sendiri.
Tiba-tiba pemuda itu berbalik, senyumnya yang menawan terpampang di wajah tampannya. Ia menyodorkan sebuket mawar merah itu ke hadapan Tery. Namun, gadis itu tak kunjung menerima bunga yang ia sodorkan.
Masih dengan tersenyum, pemuda itu berkata, "Hai, bolehkah aku masuk?"
Bersambung . . .
<<Sebelumnya
<<Sebelumnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar