Judul: My Mission
Oleh: Adelia Putri Septiani
Dor!
Seketika tubuh ringkih itu roboh, tergeletak berdarah-darah di atas lantai eksekusinya. Matanya melotot horor, menggambarkan seberapa besar perasaan takut yang mendera. Dan dalam kegelapan kamar itu, seseorang melarikan diri meloncati jendela terbuka yang berkibar-kibar tertiup dinginnya angin malam. Dialah sang pelaku.
***
Cakrawala menggelap seiring dengan sang surya yang turun dari tahta langitnya. Diantara gelaran hitam, bertabur kerlap-kerlip bintang yang menemani dewi malam dalam keanggunan singgasananya.
Sunyi. Tidak ada yang berniat mengusik ketenangan ini. Hampir tidak ada suara. Hampir. Orang itu berjalan dalam kehati-hatian dan kepastian. Jubah hitam bernoda darah yang ia pakai berkibar-kibar diterpa angin nakal. Dirinya tidak takut orang-orang mencurigainya, karena daerah yang ia lalui saat ini, hanya terdapat sisa-sisa reruntuhan akibat perang.
Batu dan kerikil bertebaran, nyaris semua bangunan sudah tidak berbentuk. Kotor dan kumuh. Setiap langkah yang ia ambil selalu meninggalkan jejak lumpur basah. Sungguh lingkungan tidak layak tinggal. Namun di sinilah rumahnya.
Rumah kuno bercahayakan lampu remang berdiri tidak utuh di hadapannya. Dengan hati yang membuncah, telapaknya mendorong lembut pintu jati termakan rayap tersebut. “Aku pulang!" keriangannya langsung merasuk.
Tapi sambutan yang ia dapat tidak seperti yang ia harapkan.
“Kakak!” Edna, adiknya, datang dalam genangan air mata yang membanjiri wajahnya. Dia gelagapan. Dan dalam kepanikan, ia bertanya, “Ada apa dengan ibu?!"
“Kak Amy, I-ibu ... di-dia—" Edna terbata, tersedak oleh tangisannya sendiri. Amy makin panik, tanpa mendengarkan lebih lanjut, dirinya langsung melesat menaiki tangga, lalu mendobrak pintu pertama yang ia lihat.
Ibunya kejang.
“Ibu!"
***
Amy tidak bisa diam. Sedari tadi tubuhnya mondar-mandir tak karuan di depan kamar UGD. Adiknya sedikit lebih tenang, duduk dengan hanya menggigiti kukunya, itu pun jika bisa disebut “tenang". Ibu mereka sudah ditangani, masa-masa ketegangan telah terlewati. Hanya satu yang mereka cemaskan saat ini.
Uang.
Bagaimana bisa remaja seperti mereka harus menanggung beban biaya rumah sakit yang terasa menyesakkan? Bahkan untuk makan sehari-hari saja perlu bersusah payah, tak jarang mencuri. Amy mengutuk pemerintah, sejak perang selesai tidak ada kemurahan hati untuk korban-korban seperti mereka. Harga-harga melejit naik tak terkira, pemerintah tidak peduli ekonomi rakyat kecil yang makin terpuruk.
Amy berusaha memeras otaknya, namun tidak ada jalan keluar untuk masalah ini, kecuali satu. “Edna, sepertinya aku harus melakukan itu lagi."
“Tidak!" Adiknya langsung bangkit menentang, kecemasan kini tergantikan kemarahan. "Jangan lakukan pekerjaan keji itu lagi, Kak! Sudah cukup aku melihat berita di koran-koran mengenai pembunuhan. Lagipula kau berjanji jika malam ini adalah malam terakhir, yang berarti hutang ayah pada penjahat-penjahat itu sudah lunas," Edna melanjutkan tegas.
“Tapi tidak ada cara lain lagi, Ed!" Amy bersikukuh. "Memang benar, hutang ayah sudah lunas, pekerjaanku sudah selesai. Tapi aku bisa meminta satu misi lagi untuk mendapatkan uang!" gema suaranya bertalu-talu, meresap dalam hati adiknya, mengikis kepercayaan.Oleh: Adelia Putri Septiani
Dor!
Seketika tubuh ringkih itu roboh, tergeletak berdarah-darah di atas lantai eksekusinya. Matanya melotot horor, menggambarkan seberapa besar perasaan takut yang mendera. Dan dalam kegelapan kamar itu, seseorang melarikan diri meloncati jendela terbuka yang berkibar-kibar tertiup dinginnya angin malam. Dialah sang pelaku.
***
Cakrawala menggelap seiring dengan sang surya yang turun dari tahta langitnya. Diantara gelaran hitam, bertabur kerlap-kerlip bintang yang menemani dewi malam dalam keanggunan singgasananya.
Sunyi. Tidak ada yang berniat mengusik ketenangan ini. Hampir tidak ada suara. Hampir. Orang itu berjalan dalam kehati-hatian dan kepastian. Jubah hitam bernoda darah yang ia pakai berkibar-kibar diterpa angin nakal. Dirinya tidak takut orang-orang mencurigainya, karena daerah yang ia lalui saat ini, hanya terdapat sisa-sisa reruntuhan akibat perang.
Batu dan kerikil bertebaran, nyaris semua bangunan sudah tidak berbentuk. Kotor dan kumuh. Setiap langkah yang ia ambil selalu meninggalkan jejak lumpur basah. Sungguh lingkungan tidak layak tinggal. Namun di sinilah rumahnya.
Rumah kuno bercahayakan lampu remang berdiri tidak utuh di hadapannya. Dengan hati yang membuncah, telapaknya mendorong lembut pintu jati termakan rayap tersebut. “Aku pulang!" keriangannya langsung merasuk.
Tapi sambutan yang ia dapat tidak seperti yang ia harapkan.
“Kakak!” Edna, adiknya, datang dalam genangan air mata yang membanjiri wajahnya. Dia gelagapan. Dan dalam kepanikan, ia bertanya, “Ada apa dengan ibu?!"
“Kak Amy, I-ibu ... di-dia—" Edna terbata, tersedak oleh tangisannya sendiri. Amy makin panik, tanpa mendengarkan lebih lanjut, dirinya langsung melesat menaiki tangga, lalu mendobrak pintu pertama yang ia lihat.
Ibunya kejang.
“Ibu!"
***
Amy tidak bisa diam. Sedari tadi tubuhnya mondar-mandir tak karuan di depan kamar UGD. Adiknya sedikit lebih tenang, duduk dengan hanya menggigiti kukunya, itu pun jika bisa disebut “tenang". Ibu mereka sudah ditangani, masa-masa ketegangan telah terlewati. Hanya satu yang mereka cemaskan saat ini.
Uang.
Bagaimana bisa remaja seperti mereka harus menanggung beban biaya rumah sakit yang terasa menyesakkan? Bahkan untuk makan sehari-hari saja perlu bersusah payah, tak jarang mencuri. Amy mengutuk pemerintah, sejak perang selesai tidak ada kemurahan hati untuk korban-korban seperti mereka. Harga-harga melejit naik tak terkira, pemerintah tidak peduli ekonomi rakyat kecil yang makin terpuruk.
Amy berusaha memeras otaknya, namun tidak ada jalan keluar untuk masalah ini, kecuali satu. “Edna, sepertinya aku harus melakukan itu lagi."
“Tidak!" Adiknya langsung bangkit menentang, kecemasan kini tergantikan kemarahan. "Jangan lakukan pekerjaan keji itu lagi, Kak! Sudah cukup aku melihat berita di koran-koran mengenai pembunuhan. Lagipula kau berjanji jika malam ini adalah malam terakhir, yang berarti hutang ayah pada penjahat-penjahat itu sudah lunas," Edna melanjutkan tegas.
“Apakah darah dan uang membuatmu candu?"
Satu bulir air mata mengalir menuruni pipinya, namun dengan cepat Amy mengusapnya kasar. “Kau seharusnya tahu, aku juga tidak menginginkannya, Ed. Tidak pernah. Aku terpaksa," jawabnya, nyaris mencicit pada kalimat terakhir. Dia berbalik, kemudian menderap lebar meninggalkan Edna bersama perasaan campur aduknya. Antara marah, cemas, sayang, dan ... takut. Takut bila kakaknya tidak akan pernah kembali, meninggalkannya untuk selamnya.
***
Bau-bau alkohol menyeruak di seluruh ruangan besar itu, menusuk hidung bagi yang tidak terbiasa menciumnya. Para manusia tidak tentu arah menari gila-gilaan mengikuti musik yang sedang mengalun memekakkan telinga. Mereka akan berlompat-lompat, mengangguk-angguk, lalu minum. Tidak peduli urusan dunia, ataupun sedang berusaha melupakannya. Tenggelam dalam kemaksiatan.
Amy menyelusup di antara lautan manusia tersebut, bukan untuk ikut larut ke dalamnya, melainkan mencari seseorang yang sedang ia butuhkan. “Jack!" panggilnya lantang. Namun sahutan kosong. Gadis itu hampir terjengkang, orang-orang ini mengombang-ambingnya. “Jack!" panggilnya lagi. Akhirnya, sosok pria kekar penuh tato menoleh ke arahnya. Kontan, Amy mendorong siapapun yang menghalangi jalannya, mengakibatkan beberapa makian dan kata-kata kasar membelai telinganya, tapi dia sudah terbiasa. Saat berada tepat di depan orang yang dicarinya, ia langsung menarik lengan besar Jack menuju meja bar yang lebih kondusif.
Setelah duduk, Amy langsung ke inti pembicaraan. “Berikan aku satu misi lagi."
Dahi Jack mengerut dalam, lalu sejenak berpikir. “Untuk apa, Cantik?" Alkohol yang menyengat menyerbu indra penciumannya kala pria itu berbicara.
Sedikit berdecak, Amy menjawab, “Mendapat uang. Memangnya apa lagi? Sepertinya minuman keras membuatmu lebih bodoh dari biasanya."
Jack hanya mengangguk-angguk tanpa membalas, lalu menyodorkan secarik foto kusut dari dalam sakunya.
Dan jantung Amy seolah berhenti seketika.
Foto itu. Bryan. Teman masa kecilnya. Sahabatnya dulu. Cintanya.
“Seratus juta dan harus diselesaikan besok malam," Jack berucap.
Amy segera tersadar dari lamunannya. Untuk pertama kalinya, dia gagap, “Tap-tapi d-dia bukan pejabat." Gadis berambut coklat itu berdehem sebentar, menormalkan suaranya saat menyadari ekpresi aneh yang terpampang jelas dalam wajah Jack. “Tapi dia bukan pejabat, kenapa begitu mahal?"
"Oh, dia membuat iri para pengusaha lainnya. Wajar saja, target kali ini adalah seorang pemuda sukses dan tampan. Memangnya kenapa kau menanyakannya? Tidak seperti biasanya."
Tidak ada jawaban. Dia langsung pergi begitu saja, setelah menyahut foto pria yang dicintainya.
***
Bimbang.
Antara cinta dan uang. Belum bisa diputuskan.
Amy berjalan ragu di antara koridor kampus. Tidak, dia bukan mahasiswa. Tidak ada biaya untuk meneruskan pendidikan hingga ke jenjang ini. Dia hanya ingin melihat seseorang. Ya, Bryan.
Pandangannya masih setia ke bawah, otaknya masih berpikir tentang keputusan yang akan ia ambil. Cinta atau uang?
Brugh!
Tanpa sadar dia menabrak seseorang. Kelopak-kelopak bunga menghambur menghiasi momen itu, tentu saja kelopak yang asalnya dari rangkaian bunga pada genggaman orang yang dia tabrak. Entah takdir atau bukan, namun orang yang dia tabrak adalah ... Bryan.
Amy segera menunduk, lalu membungkuk. “Maaf, aku benar-benar minta maaf." Sungguh memalukan.
“Oh, tidak apa-apa!" Pria itu memegang bahu Amy, lalu menegakkan badannya. “Aku bisa membelinya lagi nanti." Gadis itu langsung mencibir, “Dasar orang kaya tukang pamer." Satu alis Bryan terangkat. “Apa yang baru saja kau katakan?"
Amy terkejut, lalu sontak gelagapan. "Eh, tidak! Bukan apa-apa!" Dia mencibir terlalu keras, gadis itu merutuki kebodohannya.
Pemuda itu diam-diam mengamati gerak-geriknya, lalu senyum setipis kertas menghiasi wajah rupawannya. “Kau Amy, bukan?"
Tanpa sadar dia langsung mengangguk. Lalu mata coklatnya membulat kaget. “Bagaimana kau tahu namaku?!" Bryan terkikik. “Tentu saja aku mengingatmu, Princess." Amy bergidik, " Jangan panggil aku seperti itu!"
Tidak mengindahkan bentakannya, Bryan kembali bertanya, “Sedang apa kau di sini? Kau bukan pelajar di sini, kan?"
Amy mendesah. Tentu saja, dia tidak bisa berkata, "Aku di sini ingin melihatmu, sebelum membunuhmu" Tidak bisa.
Tanpa pikir panjang, Amy segera menarik paksa lengan Bryan untuk mengikutinya. Dan pemuda itu tidak memrotes sama sekali. Entah apa yang ada di pikirannya.
***
Lembayung senja mengambang dalam langit, sinar oranyenya yang indah menyapa ramah setiap insan yang melihatnya penuh kekaguman. Sungguh indah. Namun hal itu membuat Amy menghembuskan napas lelah.
Waktunya hampir habis.
"Hei, kau menyeretku ke sini dan meninggalkan mata kuliahku hanya agar aku bisa melihatmu melamun?" Bryan menggerutu.
Amy menoleh, lalu memandangnya jengkel. “Salah sendiri kau mau," gadis itu berujar dengan dengusan di akhir. Dengan sebelah bibir yang terangkat, Bryan menimpali sedikit menggoda, "Memangnya siapa yang kuasa menolak aura kecantikanmu yang seakan menyihir itu?" Amy tidak tersipu. Dan gadis cantik inilah yang akan membunuhmu nanti, batinnya sedih.
Deburan ombak masih setia bergelung-gelung di depannya. Segarnya angin pantai masih tidak mampu menenangkan kegelisahan di hatinya. Dan waktu yang dia habiskan bersama orang terkasih makin sempit.
“Antara cinta dan uang, mana yang akan kau pilih?" mendadak pertanyaan itu terlontar dari bibir merahnya. Itu tidak disengaja. Dan Amy tidak menyesalinya. Dia memang butuh pencerahan.
Hening.
“Jika bisa memilih keduanya, kenapa hanya satu?"
“Keduanya? Mudah jika hanya berbicara. Kau tidak mengerti situasiku."
"Tidak, aku mengerti," dalam ketenangan, Bryan menyanggah.
“Jangan sok tahu!"
"Aku memang tahu, Amy."
“Kau tidak tahu!"
"Amy, aku tahu kau ingin membunuhku."
Deg!
Gadis itu langsung membeku, berbanding terbalik dengan jantungnya yang memompa brutal. Keringat dingin meluncur begitu saja dari dahinya. Dia takut. Takut apabila Bryan mengadukannya pada polisi.
Amy jatuh terduduk. “Kau ... bagaimana kau bisa tahu?" lirihan itu hampir tidak terdengar, lemah, tubuhnya sekejap lemas bahkan hanya untuk bersuara.
Bryan melangkah mendekat, lalu berjongkok. Tubuhnya mencondong ke depan. "Karena aku yang menyuruh Jack memberikan misi itu untukmu," bisiknya pelan, namun mampu melumpuhkan seluruh syaraf yang ada dalam tubuh gadis itu.
"Ba-bagaimana bisa?"
Senyum misterius tercetak jelas pada lelaki berambut hitam itu, mata kelam tajamnya mengisyaratkan akan sebuah perasaan yang sulit digambarkan. “Amy, setelah perang aku mencarimu, dan lewat mata-mataku, aku menemukanmu." Jeda sejenak. "Aku tahu semua kelakuanmu, pembunuhan yang selama ini kau lakukan, dan juga masalah tentang penyakit ibumu."
Amy tercekat. Selengkap itu kah informasi yang didapat sahabat masa kecilnya ini?
"Tenang saja, aku tidak akan memenjarakanmu. Bahkan aku bisa membiayai operasi ibumu. Hanya dengan satu syarat."
"Apa?"
"Menikahlah denganku!"
***
Cinta atau uang? Jika bisa memilih keduanya, kenapa pilih salah satu?
Tamat.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar