Judul: Pain
.
"Juara pertama diraih oleh ... Adelia Putri Septiani!"
.
Tepuk tangan langsung riuh menggema. Seorang gadis cantik berdiri dari duduknya, debaran senang di dada semakin cepat tatkala langkahnya semakin dekat menghampiri panggung.
.
Sedikit gemetar dia menerima piala, lengkung indah di bibirnya semakin lebar saat bersalaman dengan kepala sekolah.
"Silahkan memberikan sedikit pidato, Lia." Langsung saja, senyum gadis itu hilang.
.
Cekikikan dan ejekan sinis mengisi aula, tak jarang pula hinaan diterimanya. Salah seorang guru tergesa maju, membisikkan sesuatu kepada pembawa acara di situ. Pria itu sedikit terkejut, "Oh, maafkan aku. Aku tidak tahu."
.
Lia hanya tersenyum, pedih. Kemudian tanpa diperintah, dia melenggang turun dari panggung, ditemani sorakan kompak dari teman-teman sekelasnya.
.
"Dasar, gadis bisu!"
.
Sesaat dibuat melayang, lalu seenaknya dijatuhkan. Sungguh menyakitkan.
***
Mega merah perlahan turun dari cakrawala, sinar jingganya dapat menenangkan hati yang sedang gelisah. Kini tak lagi siang, para murid pun sudah pulang, tapi tidak untuk Lia, dia masih terdiam.
.
Gadis itu memang sengaja bergeming, tidak bergerak sedikitpun dari kursinya. Dia menunggu.
.
Setelah waktu yang dilewati terasa cukup, tubuhnya bangkit. Tas merah ia sampirkan di bahu. Lalu berjalan keluar sembari menunduk.
.
Lorong sekolah sepi, telah bersih dari aktivitas siswa-siswi. Akhirnya, dia melangkah tenang. Namun saat di perbelokan, dia terjatuh, lebih tepatnya terjegal.
.
Tangan besar penuh otot tiba-tiba menariknya saat mencoba berdiri, lalu tanpa ampun menyeretnya entah kemana, tubuhnya dihempaskan ke dinding berlumut yang lembab, dan akhirnya ia jatuh terkulai.
.
Belum sempat Lia bernapas, tangan itu kembali menyiksa, tubuhnya terangkat oleh cekikan pria di depannya. Gadis itu menendang-nenda
.
"Berikan uangmu! Uang dari hadiah yang baru saja kau terima pasti banyak, berikan!" David membentak, semakin menekan leher jenjang Lia ke dinding. Namun gadis itu menggeleng. Tidak kali ini, batinnya.
.
Berang! David membanting tubuh mungil itu ke tanah. Tak akan ada yang mendengar keributan di halaman belakang sekolah, jadi aman jika dia menyiksa.
.
Lia terbatuk-batuk,
.
Gadis itu kebingungan, lalu tanpa pikir panjang segera menendang keras selangkangan pemuda itu, tepat di daerah vital. Wajah David memerah, dia mengerang kesakitan.
.
Kesempatan itu tidak disia-siakan. Lia kabur. Untuk hari ini hanya memar di leher, entah seberapa parah luka besok. David pasti membalas dendam.
***
Brak!
.
Pintu jati itu tertutup kencang, hingga menimbulkan suara yang memekakkan telinga, membuat seseorang meradang.
.
"Adelia! Apa kau pikir memperbaiki pintu itu murah, hah?!" Ibunya melolong marah, tapi kemudian melanjutkan kegiatannya bersolek.
.
Alih-alih ketakutan, mata coklat Lia berkilat senang. Dia merogoh tasnya, mengambil amplop uang dan juga pialanya. Tergesa-gesa ia melangkah, lalu mengguncang lengan ibunya yang sedang memakai lipstick. Alhasil, noda merah itu melewati batas bibir ibunya, belepotan.
.
Amarah langsung menguasai wanita itu. Plak! "Berani-beranin
.
Pipi Lia pedih, bercap merah cetakan tangan ibunya. Cairan hangat membendung di matanya, berusaha ditahan. Tangan lentiknya perlahan diangkat, memperlihatkan dua benda yang dari awal ingin dia tunjukan.
.
Namun, ibunya tanpa perasaan menepis kasar.
.
"Jangan tunjukan barang tak berguna milikmu di hadapanku, gadis bisu pembawa sial!"
.
Isakan lolos dari bibirnya, dia sudah sekuat tenaga berusaha tegar, tapi hatinya tidak sekuat yang diharapkan.
.
Tin! Tin!
.
Klakson mobil itu menghentikan makian yang akan dikeluarkan ibunya. Wanita itu menormalkan kembali ekspresinya. Dengan memasang senyum genit, dia berlalu pergi. Tapi sebelum dia keluar, ia mengancam, "Bersihkan seluruh rumah! Atau aku akan mengurungmu dalam gudang!"
.
Lia hanya mengangguk lemah.
.
Ibunya telah menghilang, entah siapa lagi duda tampan yang berhasil digaetnya, padahal umur wanita yang telah melahirkannya itu tidak terbilang muda.
.
Sekarang, gadis itu sendirian.
.
Perlahan, ia menolehkan wajahnya ke samping. Piala kacanya pecah, mengenaskan. Amplop hadiah yang berisi uang entah kemana, mungkin sudah diambil ibunya tanpa diketahuinya.
.
Kerja kerasnya tidak dihargai. Selalu saja begitu.
***
Cakrawala menggelap seiring dengan sang surya yang turun dari tahta langitnya. Diantara gelaran hitam, bertabur kerlap-kerlip bintang yang menemani dewi malam dalam keanggunan singgasananya.
.
Sunyi. Tidak ada yang berniat mengusik ketenangan ini. Hampir tidak ada suara. Hampir.
.
Grasak-grusuk terdengar lirih dari luar kamar Lia. Gadis itu mengerang, lalu terpaksa bangun. Dengan gontai dia menuju pintu kamar, membukanya sedikit, tapi sebelum kesadaran terkumpul, sapu tangan sudah membekap mulutnya, dan saat gadis itu mencium bius, dia langsung tak sadarkan diri.
***
Plak!
.
Sebuah tamparan mendarat tanpa halangan di pipi Lia. Membuatnya seketika sadarkan diri. Dan saat ia melihat sekelilingnya, mata coklatnya terbelalak.
.
Ini halaman belakang sekolahnya!
.
Gadis itu berusaha bangkit. Namun baru menyadari jika tangan beserta kakinya terikat kencang oleh tali tambang. Dia panik. Api dari lilin-lilin yang mengelilingi tubuhnya hampir mengenai saat ia mengguncang meja yang ditidurinya.
.
"Diamlah!"
.
Secara refleks, gadis itu menoleh, mendapati seseorang berjubah hitam dengan topeng putih mendekatinya. Di tangan orang itu terdapat pisau dengan ukiran-ukiran rumit dan cantik. Seketika tubuh Lia menegang.
.
Orang itu berhenti tepat di sebelahnya. Lalu membuka beberapa kancing piyama yang dikenakan gadis itu, menyingkap bagian perutnya.
.
Secara mendadak besi tipis itu menggores perut Lia, tidak dalam tapi cukup membuat perih. Goresannya menjalar, membentuk pola-pola yang tidak bisa dimengerti. Sebuah mantra.
Matanya berkaca-kaca. Keringat dingin sudah membanjiri seluruh badan gadis itu, napasnya pun memburu. Namun hanya rintihan lirih yang keluar dari bibirnya, tak ada teriakan, karena ia tidak bisa berteriak, dia bisu.
.
"Dengan ini aku korbankan engkau, Adelia Putri Septiani, sebagai persembahanku untuk memperoleh apa yang aku inginkan."
.
Pisau itu teracung tinggi-tinggi. Lia membelalak ngeri. Tatapan memelasnya sudah tidak berarti.
.
Jleb!
.
Lia mengejang. Tancapan itu terlalu kuat hingga menembus meja kayu yang sekarang dialiri darah. Namun gadis itu masih bernapas, ia sekarat.
.
Perlahan, kesadaran terenggut darinya. Namun sebelum semuanya sirna, alat bantu pendengarannya menangkap sebuah suara.
.
"Demi keabadian, terima kasih sudah menjadi tumbalku, anakku."
.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar