Pages

Fear(s)

Selasa, 12 April 2016

Judul: Fear(s)
By: Adelia P.S
.

Panasnya terik matahari membakar kulit, namun itu tak menyurutkan niatku untuk membersihkan taman belakang rumahku siang ini. Dengan semangat kucabuti semua rumput-rumput liar, memotong dedaunan yang tidak simetris, dan tak lupa juga menanam beberapa bunga sebagai tambahan.

Ah, melelahkan tetapi menyenangkan.

Kunyalakan keran air, mengambil selang lalu bersenandung sambil menyirami taman milik ibuku ini. Aroma tanah basah menyeruak seketika, dan aku menyukainya. Terasa segar.

Kuputuskan berbaring sejenak untuk melepas penat. Di bawah pohon rindang ini angin yang menyejukkan berhembus pelan, menenangkan. Rasa kantuk mulai menyerang, dengan perlahan tanpa sadar mataku tertutup.


Namun ada saja yang mengganggu.

"Aw!" jeritku tiba-tiba saat merasakan gigitan kecil di tanganku. Aish, serangga sialan!

Kukibaskan tanganku dengan kesal, membuat serangga itu terbang entah kemana. Dengusan sebal keluar begitu saja saat melihat serangga sialan itu meninggalkan luka bentol memerah di punggung tanganku.

Aku benci serangga!

Kulanjutkan tidur siangku yang sempat tertunda. Dan berharap tidak akan lagi ada gangguan seperti ini lagi.

***

"Ugh!" lenguhku sembari meregangkan otot-ototku yang terasa kaku. Hari sudah sore, sepertinya aku tertidur terlalu lama. Aku segera beranjak, menuju kamar mandi di kamarku, tentu saja untuk membersihkan badanku yang bau dan gatal.

***

"Della, makan malam sudah siap!" itu teriakan ayahku. Dengan malas sekaligus terpaksa aku membalasnya dan segera menuruni tangga menuju ruang makan.

Di sana hanya ada aku dan ayah, namun aku melihat ibu di kamarnya, dengan tatapan kosong. Semenjak beberapa hari lalu dia tak pernah berbicara, hanya memandangi kami dengan wajah pucatnya yang dingin.

Apa kedua orang tuaku bertengkar lagi?

"Ayah, kenapa ibu tidak makan bersama kita?" tanyaku sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutku.

Tapi ayahku hanya diam, seolah menulikan pendengarannya setiap kali kutanyakan hal yang sama.

Benar dugaanku, mereka bertengkar.

Tapi kenapa?

***

Acara makan malam yang senyap selesai. Kebetulan aku sedang lelah dan tak ada acara malam ini, jadi kuputuskan untuk tidur lebih awal.

Perlahan kunaiki undakan tangga menuju dapur, masih dengan menggaruk-garuk
punggung tanganku yang gatal. Aish, ini gara-gara serangga sialan itu.

Kurebahkan tubuhku ke kasur, meluruskan punggung lalu menarik selimut hingga batas dada. Segera kusambar telepon yang ada di atas nakas, memasang headseat dan menyumpalkannya di telingaku. Lagu kesukaanku mengalun merdu, lagu yang lambat namun menenangkan, dan itu memudahkanku untuk tertidur saat malam hari semenjak beberapa hari lalu.

Kubiarkan lampu kamarku menyala terang. Aku tak suka kegelapan.

Aku takut gelap.

Rasa gatal itu menyerang lagi, dengan kesal kugaruk kulit putihku keras-keras. Namun semakn digaruk maka semakin panas bagian itu. Pasti besok pagi akan muncul ruam-ruam kemerahan di tanganku.

Huh!

***

Waktu merangkak maju perlahan, malam telah berganti siang. Kicauan burung bagaikan alarm alam bagi makhluk-makhluk yang masih terlelap dalam tidur nyenyak mereka.

Namun aku bagian dari makhluk-makhluk itu.

Sepanjang malam aku terjaga, walaupun sepanjang malam pula mataku tertutup rapat. Aneh, karena siang kemarin terlelap begitu pulas.

Ini karena insomnia. Dan tentu saja rasa gatal yang tidak hilang-hilang.

Krauk! Krauk! Krauk!

Itu bunyi kulitku saat digaruk. Kasar. Dan ... aneh!

Buru-buru kubuka mataku lalu menyibakkan selimut yang melindungiku dari dingin.

"Aaaa!"

Tidak mungkin! Ini tidak nyata!

Dengan badan yang seluruhnya bergetar kuangkat perlahan tanganku. Berlubang-lubang! Tidak! Ini menjijikan! Apalagi dengan hewan-hewan kecil yang bersarang di dalamnya. Menggeliat di dalam daging tanganku.

"Aaa!"

Aku benci ini!

Aku takut dengan hal ini!

Segera aku bangkit lalu beranjak ke kamar mandi dengan terburu-buru. Kunyalakan keran lalu membaluri seluruh tanganku dengan sabun, membilasnya hingga bersih. Perih! Tapi sialnya ulat-ulat itu malah menggila. Tanganku semakin gatal dan panas.

Ya ampun, apa-apaan ini?

Bagaimana menyembuhkannya?

Apakah aku akan ... mati digerogoti ulat-ulat ini?

Gedoran-gedoran keras di pintu kamarku membuyarkan pikiran-pikiran liar yang berlalu di otakku.

"Della, apa yang terjadi? Apa kau baik-baik saja?"

Ayah!

Baru saja aku ingin membuka pintu, namun lubang-lubang kecil yang tampak jelas di tanganku yang memegang knop membuatku mengurungkan niat itu.

Gedoran-gedoran berganti dengan gebrakan kasar. "Hey, apa yang terjadi?!"

"Diam!! Jauhi aku, jangan masuk!"

Aku tahu itu tidak sopan. Namun bagaimana lagi?

Apa yang akan terjadi jika ayahku tahu apabila tanganku berlubang-lubang tak normal?

Dia pasti jijik lalu membuangku!

Tidak! Itu tak boleh terjadi!

***

Suasana hening kembali. Beberapa saat yang lalu bisa kudengar deru mobil meninggalkan rumah ini. Itu pasti mobil ayahku. Entah kemana ia pergi, mungkin menemui seseorang?

Yang tersisa di rumah ini hanya aku ... dan hewan-hewan sialan ini.

Keadaanku semakin memburuk. Ulat-ulat itu masih menggeliat gila-gilaan di dalam tanganku, namun kini dibarengi dengan cairan kehitaman dari tubuh mereka.

Dan ketakutan itu mulai menghantuiku lagi.

Aku harus mencoba sesuatu untuk menghentikan ini. Harus.

Kulangkahkan kaki jenjangku menuju balkon kamarku. Menikmati sejuknya sore hari dari sini. Aku harua menyegarkan pikiranku terlebih dahulu untuk berpikir.

Namun setelah lama berpikir, tak ada ide satupun yang ada di otakku. Tak ada sama sekali.

Mulai kurasakan pergerakan aneh di tanganku.

"Aaa!

Ulat-ulat hitam itu keluar dari lubangnya, merayap perlahan di lenganku. Spontan kukibas-kibaskan tanganku ke sembarang arah. Tapi mereka tak mau lepas. Menempel bagaikan lintah

Tapi yang lebih sialnya lagi, tak kusadari jika aku berjalan mundur sedari tadi. Punggungku menabrak balkon, namun aku kehilangan keseimbangan pada saat itu juga.

"Aaa!"

Aku jatuh. Tubuhku melayang beberapa saat, hingga ....

Byur!

Tanpa persiapan tubuhku tercebur begitu saja ke kolam renang. Air segera memenuhi paru-paruku. Sesak! Aku tak bisa bernapas!

Sialnya, aku tak bisa berenang.

Diperparah juga dengan ulat-ulat hitam yang terlepas dari tanganku, namun berenang perlahan menuju wajahku.

Kepalaku terus saja timbul tenggelam seiring dengan gerakaan tubuhku yang rancu. "Tolong! Tolong!"

Aku bisa melihat ibuku di tepian kolam, masih dengan tatapan dinginnya. Tak berniat menolongku. Hanya melihat.

"Ibu, tolong! Tolong!"

Kesadaranku mulai menipis. Oksigen yang kuhirup sudah habis. Lalu sedikit demi sedikit badanku melemas. Perlahan, tubuhku tenggelam begitu saja di kolam sedalam dua setengah meter ini.

Namun sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri, dapat kurasakan seseorang menceburkan dirinya ke kolam ini, menarik tubuhku hingga ke tepian.

***

Malam sudah larut. Aku menggigil kedinginan di atas kasurku, masih bertahan dengan baju basah yang sedari tadi kupakai.

Kamarku gelap. Dan aku takut.

Tadi, tepat setelah aku sadarkan diri, kudapati diriku sudah berbaring di kasurku. Berteriak-teriak layaknya orang gila, melempar semua barang yang kugenggam ke segala arah. Dan salah satunya berhasil memecahakan lampu kamarku.

Pintuku memang tak kukunci, namun tak kubiarkan seoarang pun memasuki kamarku, walaupun itu ayah yang sudah menyelamatkanku tadi. Ya, dia tiba tepat waktu sebelum aku ... mati.

Tapi sepertinya percuma saja, mungkin aku akan mati dengan cara lain. Bisa saja, mati digerogoti perlahan oleh ulat-ulat yang semakin membesar di lubang-lubang tanganku?

Aku benci semua ini!

Aku takut gelap.

Aku takut dengan lubang-lubang di tanganku.

Aku mulai takut dengan air.

Dan aku benci dengan ibuku yang hanya bisa melihat putrinya ketakutan.

Ya, aku tahu ibuku sedari tadi mengintip melalui celah pintu kamarku yang sedikit terbuka.

Tak ada lagi belaian kaaih sayang darinya. Tak ada lagi suara menenangangkan darinya saat aku ketakutan. Ibuku sudah berubah semenjak beberapa hari yang lalu.

***

Sementara itu, dua orang pria paruh baya sedang berbincang serius di ruang tengah rumah megah itu.

"Jadi bagaimana, Dok?"

Dokter itu menggeleng prihatin. "Keadaannya semakin parah, sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit—"

"Apakah tidak ada cara lain?" Ayah Della sangat berharap putrinya sembuh, namun ia juga tidak rela membiarkan gadisnya dirawat di tempat terkutuk seperti itu.

"Maaf mengatakan ini, tapi penyakit Skizofernia putri anda sudah parah. Lebih baik putri anda segera di bawa ke rumah sakit jiwa"

Ayah Della menghela napas berat, "tak kusangka kecelakaan yang merenggut nyawa ibunya dapat berakibat seperti ini."

Della yang malang. Terjebak dalam halusinasi dan ketakutannya.

Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS