"Cepat pel bagian sana!"
.
Bugh! Tanpa perasaan wanita itu menendang perut gadis yang ada di hadapannya. Dia kemudian melenggang pergi, seolah tuli dengan gadis itu yang merintih perih.
.
Karen namanya, anak perempuan itu melanjutkan pekerjaannya. Dengan peluh yang bercucuran di pelipis, dia terus mengepel sambil meringis. Jika dirinya ingin makan, pekerjaan rumah yang berat harus dilakukan.
.
Tiba-tiba gerombolan anak-anak berlari melewati, membuat lantai yang bersih kotor kembali. Namun dia tidak mengeluh. Sudah biasa diperlakukan seperti itu. Terasingkan dan diperlakukan sebagai pembantu.
.
Panti asuhan mendadak hening. Karen merasa ada yang ganjil.
.
Menuruti firasat, gadis itu meletakkan kain pelnya, kemudian mengendap pelan, dan akhirnya melongok di jendela.
.
Anak-anak lain berbaris rapi di halaman, memunggungi pandangannya. Dia mengernyit, jelas bingung. Namun saat ia melihat Bu Hanna dengan seorang pria asing, pemahaman langsung meresap di otak. Ingin sekali dia juga mengikuti pemilihan tersebut, tapi dia segera mengurungkannya.
.
Para orang tua yang datang ke panti tersebut, tidak pernah mengadopsinya, melirik pun jarang. Kata orang-orang dia berbeda, terkesan aneh, tetapi gadis itu tidak pernah tahu dengan hal janggal yang ada di dirinya. Atau tidak sadar?
.
Menghela berat, dia kembali melanjutkan acara mengepelnya.
***
Zo bingung. Jelas-jelas dia merasakan kehadiran calon anggota lain di sini. Tapi setiap anak-anak yang dilihatnya, tidak mempunyai aura 'khusus' tersebut.
.
"Bagaimana? Bapak sudah menentukan ingin mengadopsi siapa?" Bu Hanna bertanya seramah mungkin, senyum manis tersungging layaknya bidadari penuh kasih sayang, tapi sejatinya dirinya hanya merasakan kebencian.
.
"Belum." Dan jawaban itu hampir membuat wanita itu mengumpat kasar.
.
Pyar!
.
Zo langsung menoleh. Suara gaduh itu berasal dari dalam. Dan dia yakin ada yang disembunyikan. Karena itu, pria bermasker tersebut melangkahkan kakinya masuk. Bu Hanna di belakang, menderap cepat, lalu mendahului.
.
"Karen!" Brak! Pintu menjeblak keras, kacanya bergetar hebat, retak.
.
Gadis itu segera menunduk, mengkerut takut. Bu Hanna yang murka menghentak langkahnya menuju tempatnya. Namun sebelum sebuah tamparan ia terima, suara berat menyela.
.
"Aku pilih dia!"
.
"Apa?!" Kedua insan itu jelas kaget. Karen mendongak, dan langsung bersitatap dengan mata abu-abu milik Zo. Saat dia berkedip, manik itu berubah hitam. Perubahan itu terlalu cepat, hingga gadis itu mengira dia hanya berhalusinasi. Namun itu nyata.
.
"Ya, aku pilih dia." Kali ini Zo lebih yakin. Gadis cilik inilah orangnya.
.
"Kau serius?" Keformalan sudah luntur dari nada bicara Bu Hanna.
.
"Tentu," seringai pria itu tersembunyi di balik maskernya. Semakin lebar saat Bu Hanna mengangguk.
.
"Tapi kau harus mengurusi beberapa data dan administrasi."
.
Zo berdecak. Lalu menjetikkan jari di balik punggung. Tik! Pandangan Bu Hanna berubah kosong. "Tenang saja, akan kuurus nanti."
.
Tanpa bisa mengelak Karen sudah ditarik paksa oleh pria itu. Dan anehnya Bu Hanna yang kerjaannya hanya marah-marah padanya hanya diam saja, dengan tatapan hampa.
.
Saat dia sampai di halaman, anak-anak menatapnya iri, juga dengki. Mungkin cemburu dengan nasibnya yang lebih dulu diadopsi.
.
Zo menarik gadis itu hingga keluar gerbang. Kedua tangan besarnya menepuk bahu anak tujuh tahun tersebut. "Kita akan ke rumah."
.
Kebingungan jelas terlihat dari mata merah gadis itu. "Tapi dimana mobilnya, paman?"
.
"Kita tidak perlu mobil. Dan juga, jangan panggil aku 'paman' atau 'ayah' seterusnya, panggil saja aku 'Zo', oke?"
.
Belum sempat gadis itu bertanya, membantah, ataupun menjawab, dua jari Zo sudah berjentik. Tik!
.
Sontak Karen bergeming. Pandangannya langsung kosong. Diam dan kaku.
.
Labh! Mereka berteleportasi.
***
11 tahun kemudian.
.
Prit! Peluit berbunyi.
.
Karen berlari kencang. Lembah kecil yang berisi zat kimia berbahaya di hadapannya langsung ia lewati dengan setongkat kayu layaknya atlet lompat galah.
.
Kawat-kawat berduri yang disusun sudah menjadi dinding setinggi kepala dengan mudah ia lompati. Jurang curam sudah menyambut di baliknya. Gadis itu terperosok. Namun dengan cepat meraih tali yang sudah disiapkan. Berayun, dan akhirnya sampai di seberang.
.
Tanpa memilih dia langsung meraih pistol magnum yang tersusun pada meja kecil di tepi hutan itu. Kemudian, berlari tanpa ragu menerobos rimba tersebut.
.
Dor! Satu peluru tepat mengenai kepala boneka yang tiba-tiba muncul. Dor! Dor! Dor! Empat sudah tumbang.
.
Karen seolah mempunyai mata dimana-mana. Target ditembak tepat bahkan tanpa menoleh. Hanya mengandalkan pendengaran dia sangat akurat. Sungguh hebat!
.
Gadis itu terus berlari. Langkahnya cepat tegas, tetapi anggun dan elegan. Namun ....
.
Seutas tali menjerat kakinya, memicu alat penarik, dan langsung mengangkat tubuh Karen dengan terbalik. Tapi dirinya sigap. Belati kecilnya yang tajam langsung memutus tali tersebut. Tubuhnya jatuh, tertarik gravitasi. Namun sebelum dia mendarat, tubuhnya memutar, berguling sebentar di tanah, dan selamat. Refleksnya sangat membantu.
.
Karen menyambar magnumnya yang sempat terjatuh. Dan kembali mengayunkan kaki jenjangnya lebar-lebar dan cepat.
.
Hutan terlewati. Padang ilalang selanjutnya.
.
Karen mengedarkan penglihatannya. Kenapa kosong? Dimana musuhnya?
.
Saat dirinya berpikir, sesuatu menerjangnya dari belakang. Seekor harimau.
.
Kedua makhluk itu terjatuh, hewan itu menindihnya. Kakinya menjejak keras, harimau tersebut terpental ke belakang. Menggeram, lalu mengaum.
.
Karen cepat-cepat mencari pistol tadi. Namun sialnya terjatuh entah kemana. Apa boleh buat, dia hanya bisa menggunakan belati kecilnya.
.
Terjangan kembali menyerang. Kali ini Karen menghindar, dengan menggoreskan luka di sepanjang lengan harimau itu.
.
Hewan itu berang. Makin murka. Kecepatan dan kekuatannya bertambah.
.
Harimau itu berlari, melompat, kuku-kukunya siap menerkam dan mencabik. Namun sigap gadis itu menusukkan belatinya di mata hewan itu, mencengkram lehernya, dan membanting tubuh besar itu di tanah. Dan tanpa segan manancapkan belati lainnya di jantung. Seakan tak puas, gadis itu meraih rahang kucing besar itu, menariknya dengan segala kekuatannya yang besar, hasil pelatihannya belasan tahun.
.
Krak! Derak terdengar. Mulut hewan itu sudah tidak utuh. Rahang bawahnya terlepas.
.
Prok! Prok! Prok!
.
Zo berdecak kagum, bertepuk tangan karena pertarungan gadi itu yang membuatnya merasa tidak sia-sia.
.
Karen bangkit, lalu mengusap pipinya yang terciprati darah dengan tangannya yang tersarung. Kemudian berbalik. Menantang pandang dengan orang yang selama ini mendidiknya terus dengan ilmu militer kejam, hal yang sebenarnya tidak patut untuk dipelajari gadis sepertinya, Zo tentu saja.
.
"Kau sudah siap, Virgo." Walau tidak melihat, Karen tahu seringai ada di balik topeng berkilat pria itu. "Aku sudah siap dari dulu," ucap gadis itu sembari merapikan pakaian loreng-lorengnya.
.
Ya, setelah diadopsi, bukannya bahagia hidupnya lebih menderita. Ia tidak dimanja, gadis itu dilatih hingga belasan tahun lamanya. Dan aksi tadi adalah hasilnya. Medan buatan yang sangat berbahaya terlewati olehnya.
.
"Selamat datang di The Zodiac, Virgo."
.
Karen hanya menngangguk. Lalu melenggang pergi, berjalan menuju mobil jeep yang terpakir di luar area buatan tersebut. Menjalankannya.
.
Zo sudah menghilang. Berteleportasi ke markas rahasia.
.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar