Oleh: Adelia Putri Septiani
"Ugh!" ucapku melenguh.
Kurenggangkan otot-ototku, menekuri buku selama berjam-jam membuat seluruh tubuhku terasa kaku. Kukucek perlahan mataku yang memerah karena lelah, keadaanku benar-benar kacau. 00:37, itulah angka jam yang tertera di layar ponselku. Sial! sudah lewat tengah malam dan aku belum rampung mengerjakan semua tugasku. Ya ampun! tugas-tugas yang susah ini membuat kepalaku terasa pecah, kenapa pula harus dikumpulkan besok sih?!
Ah, aku menyerah.
Kucampakkan buku-buku tugas yang ada di meja belajarku, otakku sudah panas memikirkan semua itu. Gelap, tentu saja, lampu kamarky sudah kumatikan. Kulangkahkan kakiku menuju kasur tipis di kamar, tanpa menunggu lama tubuhku sudah berbaring nyaman di sana. Ah! ini lebih nyaman daripada harus duduk selama berjam-jam di kursi kayu yang keras.
Kutarik selimut hingga batas dada, lalu memeluk guling usang yang sudah menemani tidurku selama beberapa tahun. Kumiringkan tubuhku, membuat pandanganku langsung terarah ke tembok bercat putih.
Perlahan namun pasti, kupejamkan mata coklatku, bersiap-siap berseluncur ke alam bawah sadar. Dapat kupastikan, kantung hitam akan bertengger di pelupuk mataku, serta rasa pusing yang mendera saat aku terbangun subuh nanti. Ah, biarlah. Tak akan jadi masalah besar, bukan?
Dunia mimpi, aku datang!
Kriet!
Itu seperti suara lemariku saat terbuka, mana mungkin aku lupa suara engsel lemari yang sudah berkarat itu. Tapi siapa yang membukanya? Entah, mungkin hanya halusinasiku saja. Mungkin.
Kukosongkan lagi pikiranku agar segera tertidur. Tapi, entah kenapa aku merasa seperti diawasi seseorang, entah siapa.
Tok! Tok! Tok!
Kali ini seperti suara jendelaku yang diketuk. Oh, ayolah! aku perlu beristirahat sekarang. Mungkin otakku terlalu panas sehingga terus berhalusinasi seperti ini--lagi.
Sret! Sret! Sret!
Suara langkah kaki seseorang tertangkap indra pendengaranku. Oh tidak! ini bukan halusinasi. Ini nyata.
Keringat dingin meluncur dari pelipisku. Dapat kurasakan jantungku yang berpacu cepat di rongga dadaku. Badanku pun gemetar ketakutan. Kuharap itu bukan perampok yang akan mencuri di rumah ini, kuharap juga bukan psikopat yang menyelinap masuk. Tapi, kurasa semua pintu dan jendela sudah kututup rapat, atau aku lupa?
Oh tidak! Aku sendirian di rumah, orang tuaku sedang pergi untuk sebuah acara keluarga di luar kota. Jika aku berteriak, mungkin para tetangga hanya akan menemukanku terkapar dan bersimbah darah.
Sret! Sret!
Suara itu kembali terdengar, lebih jelas dan tentu saja lebih dekat. Tunggu dulu! jika itu perampok ataupun psikopat, apa mungkin mereka mengetuk jendela untuk memberi tahukan pemilik rumah bahwa mereka datang? Jawabannya, tidak mungkin.
Napas hangat membelai tengkukku, membuat bulu romaku berdiri. Bau anyir yang busuk membuat perutku bergejolak. Entah siapa yang berbaring di belakangku, tapi dia jelas-jelas membuatku takut sekaligus mual.
"El- Elisa." Nada kebencian dan kemarahan mengalir satu dalam suara itu, begitu mengancam.
Aku mengenal suara berat yang begitu familiar di telingaku, terekam jelas di memori otakku. Itu suara Alvi, kekasihku.
Tapi ... bukankah Alvin sudah kumutilasi? Apakah dia ...?
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar