By: Adelia P.S
Panas sang surya membakar bumi, tak tanggung-tanggung hingga memanggang kulit. Tanah telah kering kerontang, bahkan rumput pun enggan tumbuh di lahan desa tersebut.
Raungan lapar kian histeris terdengar, namun semua orang tidak peduli urusan perut orang lain, karena keadaan mereka sama. Kelaparan. Antrian mengular panjang, semua berbaris, menunggu berjam-jam hanya untuk seteguk air yang tidak dapat memuaskan dahaga. Dan saat persediaan habis, kerusuhan tidak terhindarkan.
Sebuah mobil bak melaju dengan susah payah di jalan, debu berhamburan tidak karuan. Menutupi pandangan. Dan saat kendaraan itu sampai di perkampungan itu, benda itu berhenti.
Beberapa orang melompat turun dari mobil bak tersebut, semuanya memandang desa itu dengan iba. Sungguh mengenaskan. Pemerintah memang tidak peduli dengan rakyat seperti mereka.
"Kasihan sekali," seorang gadis dari rombongan itu menggumam, Ella. Yang lainnya mengangguk setuju.
Tanpa menunggu lama mereka menurunkan kardus-kardus berisi persediaan makanan. Lalu berniat membagikannya. Namun, hal tersebut malah mendatangkan kerusuhan yang lebih ganas.
Penduduk segera menyerbu mereka, berusaha merebut sebanyak mungkin yang bisa diraih, tidak peduli anak-anak ataupun wanita tua yang tergencet. Tidak peduli jika itu bisa saja menghilangkan nyawa.
"Astaga! Tenang!" Salah satu pemuda memekik. Karena kericuhan, ia terpaksa melempar asal makanan yang ia pegang. Dan setelah beberapa belas menit yang menegangkan, akhirnya usai sudah kesesakan.
Lima orang itu menghela napas, memberi bantuan malah mendatangkan ancaman. Ketiga wanita dari kelompok itu berjalan perlahan, dalam kempitan salah satunya terdapat kotak P3K. Menghampiri beberapa orang tua dan anak-anak, yang terluka akibat kejadian brutal tadi. Mengobati.
"Mereka sangat anarkis, brutal, dan juga ganas," Soni berkomentar, kepalanya menggeleng prihatin. Dion manggut-manggut.
"Salahkan saja pemerintah, entah sengaja atau tidak mereka telah meniadakan rasa kepedulian antar sesama penduduk di sini!" Sundaru, ketua dari kelompok relawan itu menimpali.
Tet! Tet!
Semua terlonjak. Lalu serentak menoleh ke belakang. Berbagai alat berat meluncur terarah pada mereka, dan seonggok mobil mewah memimpin jalannya.
Mata mereka membulat kaget, menganga. Tapi Sundaru mendesis sinis. Mobil mewah tersebut berhenti, tepat di depan mereka. Kemudian seorang pria gempal berpakaian rapi keluar, disusul beberapa penjaga berbadan kekar.
Cerutu yang dia hisap mengeluarkan asap, pria itu menghisapnya dengan gaya angkuh, lalu menghembuskannya. "Oh, ternyata ada beberapa sampah masyarakat di sini," mata sipit pejabat itu memandang rendah.
Soni tidak terima. "Kaulah sampah masyarakat, Tuan Wu! Jangan mentang-mentang dirimu punya posisi tinggi, kau memerintah dengan sewenang-wenang!"
Namun, hanya senyum penuh ejekan yang dikeluarkan pria keturunan cina tersebut.
Tangannya yang penuh lemak melambai, memberi kode kepada pasukannya agar segera melakukan tugas masing-masing. Menggusur desa tersebut.
Penduduk berhamburan tidak karuan, melawan dan memberontak. Namun tentu saja kalah dengan pria-pria kekar yang disewa untuk mengusir paksa mereka. Banyak yang hengkang, namun tidak sedikit pula yang masih mendekam. Namun tidak ada belas kasihan. Tidak peduli dengan keselamatan orang yang masih berada di dalam rumah, alat-alat berat itu melindas tanpa segan. Tangis histeris memekakkan telinga. Darah ada dimana-mana. Entah sudah berapa nyawa yang hilang.
Melihat itu, para relawan mengiba, juga geram. Sundaru yang sangat jarang marah, kini meraung mencaci. "Dasar pejabat busuk! Kau pantas mati!"
Alih-alih menanggapi, Tuan Wu melenggang pergi. Namun kalimat selanjutnya yang diucapkan Sundaru menghentikannya. "Kami akan mengunggah kejadian ini ke media, menyebarkannya! Para masyarakat akan membencimu, lalu berusaha menumbangkan pemerintahanmu! Camkan itu Tuan Wu! Kami tidak pernah main-main dengan ucapan kami!" Sundaru mengancam. Keempat anggota lainnya menganga, belum pernah melihat ketuanya semarah ini. Namun kemudian mereka membenarkan, berteriak mengiyakan.
Tuan Wu mulai geram. "Tangkap mereka!" Langsung saja penjaga di sekelilingnya bergerak.
Kelompok itu memberontak. Namun tidak bisa berkutik tatkala obat bius disuntikkan dalam tubuh mereka. Dan pandangan menggelap, tidak sadarkan diri
.
***
***
Bugh!
Sebuah tinju lagi-lagi menghantam pelipis pemuda itu. Sekujur tubuhnya sudah ternodai darah, salah satu tulang rusuknya patah, dan dia tidak bisa menghitung memar biru yang ada. Namun dia tetap tidak menyerah untuk bertahan.
"Kau akan menyesali ini, Tuan Wu!" mulutnya yang robek mendesis, penuh penekanan dan sarat akan ancaman.
Tuan Wu yang sedari tadi hanya melihat Sundaru disiksa kini hanya terkekeh. "Tidak akan pernah, karena kau akan mati," ucapnya pongah, tak elak tawanya menggema di ruang gelap tersebut. Tangannya yang setia memegang cerutu melambai, "Teruskan!"
Bugh!
Pukulan telak mengenai perut pemuda itu. Mulutnya memuntahkan darah. Dia terengah. Namun tangannya masih berusaha melepaskan belenggu tali yang mengikatnya. Hampir berhasil.
"Kau masih muda, cerdas dan juga berbakat. Sayang sekali, semua itu kau gunakan untuk membela orang-orang tidak berguna."
Bugh!
Kepalanya yang baru saja dihantam segera menoleh, "Manusia busuk seperti kau tidak akan pernah mengerti alasanku."
Tatapan dingin segera ditunjukkan Tuan Wu. "Berhenti!" Pria gempal yang sedari tadi memukuli Sundaru menghentikan gerakannya. "Pergi dan segera kosongkan tempat ini." Tanpa membantah pria itu mengangguk, lalu menghilang ditelan pintu besi.
Tuan Wu bangkit, kemudian melangkah perlahan mengitari kursi yang diduduki Sundaru, berusaha mengintimidasi. Namun, pemuda itu tidak gentar. Pria itu menghisap cerutunya nikmat, lalu secara mendadak menekannya di pipi Sundaru yang terhiasi memar, membuatnya padam. Rasa terbakar dan nyeri membuat pemuda itu mendesis.
"Bualanmu akan segera berakhir."
Lamat-lamat Tuan Wu menelusupkan lengannya di balik jas, meraih sesuatu, lalu menodongkan tepat di kening pemuda itu. Sebuah pistol. Sundaru terbelalak.
"Selamat tinggal."
Bugh!
Tinjuan keras meluncur mulus di pelipis Tuan Wu. Membuatnya oleng dan tanpa sengaja menjatuhkan senjatanya.
Dor!
Sundaru terengah, dengan kesal dia membuang tali yang masih melingkar longgar di pergelangan. Marah, dia menendang perut penuh lemak jasad pejabat tersebut. Seperti tidak puas, tembakan bertubi-tubi kembali ia keluarkan.
"Pejabat busuk sepertimu pantas mati. Dunia tidak akan damai jika masih ada orang sepertimu!"
Tertatih-tatih ia melangkah keluar, setelah membuka pintu dan tidak menemukan siapa-siapa, dia kabur secepat mungkin melewati pintu belakang rumah itu.
Sundaru bersusah payah berjalan secepat mungkin memasuki hutan. Pintar sekali pria itu memilih lokasi pembantaian di dalam rimba, gumamnya kesal.
Sirine polisi terdengar dari kejauhan, alhasil dia panik seketika. Sakitnya semakin bertambah saat tubuhnya tertusuk-tusuk duri tanaman liar. Namun, dia harus kabur sejauh mungkin agar tidak tertangkap.
Kresek! Kresek!
Sundaru menegang. Dia segera berbalik, mengacungkan moncong pistol ke arah semak-semak yang bergoyang.
Namun tidak ada pergerakan lagi. Dia kembali berbalik, tapi ... "Halo." Pemuda itu terjengkang. Badannya meradang kesakitan. Susah payah dia mengangkat lengan untuk menodong pria bertopeng di hadapannya.
"Oh, tidak perlu repot-repot. Aku di sini ingin menawarkan sesuatu kepadamu."
Sesuatu?
"Apa itu?"
Pria asing itu menyeringai di balik topeng hitam berkilatnya. "Kau ... masuklah menjadi anggotaku."
"Anggota apa maksudmu?" Sundaru bertanya sembari berusaha berdiri, tapi dia terjatuh lagi.
"Anggota pembunuh bayaran."
Dia langsung mendongak, menatap pria itu dengan tidak percaya. Namun sebelum dia melontarkan penolakan, pria itu melanjutkan, "dengan fasilitas lengkap, identitas dirahasiakan, segala bentuk tindakan kriminal dihapuskan, dan juga diiberikan kekuatan 'khusus'"
Pemuda itu penasaran dan tertarik, namun hati nuraninya menolak, dia tidak akan membunuh lagi. "Tidak."
Pria itu malah makin mendekat, berjongkok, untuk mensejajarkan tingginya dengan Sundaru yang masih terduduk lemah.
"Apa kau yakin tidak tertarik? Aku bisa menghapuskan segala jejak kejahatanmu, termasuk pembunuhan kepada pejabat yang baru saja kau lakukan."
Dia jelas tersentak. Bagaimana pria ini tahu? Sundaru membuka mulut untuk bertanya, namun derapan langkah kaki membuatnya menutup lagi. Polisi!
"Ah, benar. Aku juga bisa membawamu kabur dari sini."
Tawaran pria ini makin menggiurkan. Namun dia masih bimbang. "Tapi—"
"Penuh keraguan. Benar-benar tipe 'Libra', anggota zodiak yang kucari. Tenang saja, kami hanya membunuh yang benar-benar bersalah."
Lagi-lagi Sundaru dibuat bingung. Tapi derap langkah yang semakin mendekat membuatnya tidak jadi memrotes ataupun bertanya. Langsung dia mengangguk.
Seringai pria itu semakin lebar.
"Baiklah, namamu sekarang bukan Sundaru, melainkan Libra." Lengan kekar pria tersebut memapahnya, membuatnya berdiri.
"Ngomong-ngomong, siapa namamu?"
Lengkung misterius tercetak di bibir pria tersebut, tersembunyi di balik topeng berkilatnya.
"Panggil saja aku 'Zo'."
Labh! Mereka menghilang. lebih tepatnya berteleportasi.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar