Pages

Deep Sea

Senin, 15 Oktober 2018

Ombak berdebur kencang tanpa ampun di bawah sana, mengikis tiap-tiap sisi karang yang sedang kupijak. Laut cukup ganas sore itu, seolah memberitahuku bahwa apa yang  kulakukan akan sangat berbahaya. Namun bahayalah yang memang kucari.
Kupandangi lagi jingganya matahari yang perlahan kembali pada peraduannya. Kuakui, riak-riak air yang berkilau oranye itu sedikit meringankan beban dalam hariku.
Dan inilah saatnya.
Aku melompat.
Pertama, sesak yang kurasakan akibat dari permukaan air yang membentur dadaku. Berusaha sebisa mungkin untuk diam serta tidak melawan arus alam, lambat laun ... aku tenggelam. Dalam dan semakin dalam, denging di telingaku kian memekakkan. Oksigen yang tersimpan dalam paru-paru juga sudah hampir di ambang batas. Detik selanjutnya, kerlip jingga di atas sana terlihat semakin buram, tertelan oleh gelapnya biru lautan. Ombak yang tadinya mengombang-ambingku lamat-lamat tidak terasa. Semakin jauh aku dari permukaan air, semakin tenang pula keadaannya.
Namun ....


Kupikir aku siap, kukira aku sudah muak dengan hidup di desa daerah jajahan Jepang di atas sana, tapi nyatanya ... perasaan takut itu tetap ada. Kekosongan yang mengerikan menantiku di dasar. Tepat saat itu, tanganku terulur, berusaha mencapai apapun, namun pada nyatanya hanya kehampaan yang ada. Terlambat sudah.
Ketidakadanya oksigen mengakibatkan kesadaranku digilas mudah oleh kegelapan total.
Aku akan ... mati?
***
"Nyai! Bangun, Nyai!"
Sepasang tangan lebar yang kasar menampar-nampar pelan pipi Surti. "Nyai! Hei, bangun! Nyai!"
Tamparannya makin keras, sekarang bahkan disertai goncangan pada pundak. "Nyai, tolong bangun!"
Dengan meraih sisa-sisa pijakannya pada dunia nyata, Surti perlahan membuka mata, apa yang pertama ia lihat adalah cakrawala oranye yang sebagian besar ditutupi siluet seorang pria. Meskipun demikian, gadis itu tetap menangis, merasa luar biasa bersyukur atas kesempatannya melanjutkan hidup.
"Nyai, ndak apa-apa?" Pria di hadapannya perlahan membantu Surti untuk duduk, agak panik dengan tangisan tiba-tiba si Surti.
"Nyai?" Surti mendekat secara reflek, kedua lengannya melingkar pada punggung lebar nan kokoh pria tersebut. Persetan dengan pandangan orang-orang mengenai sepasang insan yang berpelukan di tempat sepi, ancaman diarak keliling kampung pun Surti sudah tidak peduli. Gadis itu hanya butuh sandaran sekarang juga. Beban kehidupannya terlalu berat untuk ia pikul sendiri.
Kehangatan yang kontras dengan dinginnya dasar laut serta elusan lembut di rambut yang masih basah adalah yang ia harapkan, dan pria yang masih belum ia ketahui namanya itu memberikannya.
***
"Emang Mas kudu pergi, ya?" Pria di depan Surti tersenyum lembut, gemas rasanya melihat istri tersayang bermanja-manja seperti ini, sayangnya mereka berada dalam waktu yang tidak tepat.
"Iya, Dek. Katanya sih Pak Karno sedang merekrut orang-orang biasa untuk dijadikan tentara di ibukota buat melawan Jepun." Surti tahu itu, tapi tetap saja tidak ikhlas.
Ia pandangi dalam-dalam mata pria yang sudah berstatus sebagai suaminya. Dia adalah penyelamat hidupnya, secara harafiah maupun makna. Siapa kira tetangga yang tidak pernah ia lirik berhasil membuat ia terangkat perlahan dari belenggu masalahnya satu persatu?
Kadir mengelus bekas luka palsu dari tepung yang ada di pipi Surti. "Waktu Mas ndak ada, yang hati-hati ya! Jangan lupa kunci pintu tiap malam. Jangan keluyuran sendiri. Jangan dekat-dekat pasar Ahad sore, biasanya banyak orang Jepang di sana. Duh Gusti, kok ya aku khawatir banget ninggal kamu sendiri sih, Dek?"
"Makanya ndak usah pergi, Mas. Biar yang lain aja jadi tentara, Mas tetap jadi nelayan aja."
"Ndak bisa, Dek. Kita semua punya tanggung jawab yang sama, yaitu melindungi tanah air kita, Indonesia!"
"Iya, Mas, iya. Pokoknya Mas kudu pulang waktu Indonesia udah merdeka!"
"Iya, tunggu Mas ya!"
***
Kata "menunggu" masih belum cukup menggambarkan keseharian Surti setelah ditinggal suaminya berperang. Hatinya yang dulu bergetar akan cinta kini berdegup cemas oleh berbagai kemungkinan di medan sana, terlebih kematian.
Hingga suatu fajar, Pak Kadir, orang yang dipercaya oleh para ajudan untuk menyampaikan kabar di desa, tergopoh-gopoh menghampirinya. Surti belum siap, saat itu masih terlalu pagi untuk menerima kabar baik ... atauoun buruk.
Namun naas, takdir memutuskan bahwa Surti belum cukup menerima cobaan selama hidupnya, kini satu-satunya sandaran yang ia miliki telah berpulang ke Gusti Allah akibat dari timah panas yang masih bersarang di jantung Kadir. Setelah seluruh keluarganya mati mengenaskan dalam siksaan tentara Jepang, suaminya meninggal dengan hormat sebagai pahlawan perang, tapi percuma saja, mati ya mati, entah itu secara mulia, aneh, ataupun normal, sekali nyawa dicabut dari raga, tidak akan bisa kembali lagi.
Surti kembali lagi ke dasar.
***
Ombak berdebur kencang tanpa ampun di bawah sana, mengikis tiap-tiap sisi karang yang sedang Surti pijak. Laut cukup ganas sore itu, seolah memberitahu bahwa apa yang akan ia lakukan sangat berbahaya. Namun bahayalah yang memang dicari.
Wanita itu pandangi lagi jingganya matahari yang perlahan kembali pada peraduannya. Ia akui, riak-riak air yang berkilau oranye itu sedikit meringankan beban dalam harinya
Dan inilah saatnya.
Surti melompat.
Pertama, sesak yang ia rasakan akibat dari permukaan air yang membentur dadanya. Berusaha sebisa mungkin untuk diam serta tidak melawan arus alam, lambat laun ... Surti tenggelam. Dalam dan semakin dalam, denging di telinganya kian memekakkan. Oksigen yang tersimpan dalam paru-paru juga sudah hampir di ambang batas. Detik selanjutnya, kerlip jingga di atas sana terlihat semakin buram, tertelan oleh gelapnya biru lautan. Ombak yang tadinya mengombang-ambing lamat-lamat tidak terasa. Semakin jauh dirinya dari permukaan air, semakin tenang pula keadaannya.
Kali ini tidak ada keraguan.
Dia siap, ia sudah muak dengan hidup di desa daerah jajahan Jepang di atas sana, nyatanya ... perasaan takut itu sudah tidak ada. Kekosongan yang mengerikan menanti di dasar, dan itulah apa yang ia harapkan. Tepat saat itu, mata Surti tertutup, dalam bayangannya muncul senyum Mas Kadir yang menunggunya di seberang alam sana, wanita itu tersenyum, walau ia tahu surga dan neraka akan memisahkan jalan mereka nanti. Itulah waktunya.
Ia mati.
Surti menerima sepenuh hati rasa tenang yang dasar laut berikan kepadanya.
Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS