Pages

Odd

Sabtu, 21 September 2019


Pernah ada yang berkata bahwa mimpi apapun yang kalian ingin capai, semustahil apapun, apabila kalian memikirkannya dengan setulus hati maka suatu saat hal itu akan menjadi kenyataan.

Tapi coba tebak? Dunia tidak sebaik itu.
**
Sofi malam itu sudah putus asa. Sudah hampir satu tahun semenjak kematian kekasihnya, Noval, tapi hatinya belum tuntas patah. Hanya berbekal satu cahaya lilin temaram yang beruntung masih menyala serta kemilau perak bulan purnama, matanya yang dinaungi bayang-bayang berusaha melihat ke dalam cermin yang rusak sudah. Ia kemudian meraba bekas luka sepanjang lima senti di pipi kirinya, sayatan di lehernya, dan borok di dahi, air mata kembali mengalir deras, pasalnya ia sadar tidak akan ada orang lain lagi yang dapat menerima kekurangannya itu selain sosok tak kasatmata kekasih yang telah meninggal dunia.


Ia berbalik. Apa yang ia lihat membuat rasa bersalah serta amarah makin menggelak, membuat dadanya panas sekaligus sesak. Meja kaca terbelah dua, hamburan lilin hitam, juga potongan-potongan kayu, apapun yang tersisa dari papan ouija. Ritualnya tidak berhasil. Tidak ada satu pun roh yang permainan bohongan itu tangkap.

Lagi, perjuangannya untuk bersatu lagi dengan Noval tidak membuahkan hasil.

“Ada satu cara lagi,” bisknya lebih kepada diri sendiri. Ia ulangi kalimat tersebut berulang-ulang, salah satu usaha alam bawah sadarnya untuk tetap memberikan harapan kepada Sofi yang malang.
**
14 September 2019. Ketika itu bulan purnama menggantung jenuh di atas langit, meski awan dan bintang menemani, cahayanya tetap suram. Di tengah kemuraman malam, seorang gadis seorang diri melewati celah-celah pohon besar dalam hutan. Gemerisik antara rok polos yang senada daun dengan rumput liar setinggi lutut menjadi satu-satunya hal yang mengantarnya selain bayangan. Tidak ada lagi yang ia takutkan, insting primitif itu telah hilang setelah perlahan mati bersama hati dan akal sehatnya.

Tak lama kemudian, ia sampai.

Danau yang disebut-sebut sebagai “Cermin Jiwa” berhasil ia temukan. Entah kenapa, sejak seminggu yang lalu danau ini secara aneh tidak bisa ditemukan, mulai dari jalur menuju hutan yang tiba-tiba terblokir rumpun tanaman, pencarian yang tidak berujung, pagi yang hampir menjelang walaupun ia masih beberapa menit berjalan, hingga tanpa sebab Sofi pingsan, tapi tepat pada hari ketujuh akhirnya wujud nyata legenda tersebut nampak.

Konon katanya, apabila kamu ingin mengabulkan satu permintaanmu yang tersimpan di dasar hati yang terdalam, dengan melakukan suatu ritual tertentu di tempat ini, harapan tersebut akan menjadi nyata.

Untuk pertama kalinya dalam satu tahun terakhir, jantungnya kembali berdebar.

Ini dia!

Sesuatu, apapun itu, suatu entitas yang tak dapat dilihat, membuatnya yakin bahwa hal ini akan berhasil.

Tanpa menunggu lama, Sofi pun melaksanakan niatnya.

Ia keluarkan cermin bulat tanpa bingkai dari ransel, sebuah pisau dapur, dan sebatang besar lilin hitam beserta korek api. Sofi jajarkan barang-barang tersebut di tepi danau.

Satu kancing, dua kancing, perlahan kemeja hitamnya terbuka, menampakkan kulit pucat yang nampak hanya membalut tulang rapuh gadis itu. Setelah melepas pakaian dalam dan kain lainnya, ia lalu berjongkok. Tangan kecil kurus kering milik Sofi meraih pisau yang bahkan tidak cukup ia genggam gagangnya, kemudian dengan pandangan kosong ia tempatkan benda tajam tersebut pada pergelangan tangan, setidaknya di antara bekas luka iris yang belum sembuh benar.

Belum sempat angin berhembus, kulitnya telah terpotong, terbuka, berdarah-darah.

Tidak ada jeda waktu yang ia berikan untuk dirinya sendiri bahkan sekadar untuk bernapas. Sofi menyambar korek dan buru-buru menyalakannya dengan satu tangan yang tidak terluka, setelahnya menjaga agar tidak ada udara yang mampu memadamkan api kecil dalam genggaman. Lilin hitam pun akhirnya bermahkotakan warna merah, oranye, kuning dan biru. Ia cengkram benda itu dengan kedua tangan seperti ia berpegang pada nyawanya tepat di atas cermin bulat tanpa bingkai.

“Dengan lubuk hatiku yang terdalam, kupinta engkau mewujudkan satu permintaan, pertemukan aku dengan kekasih hati pujaan.” Seolah mantra, kalimat itu ia ulang hingga berkali-kali. Pada kali ketujuh, setitik cairan hitam mulai meluncur jatuh dari kepala lilin, ke punggung tangannya, lalu menetes jatuh bersamaan dengan sepercik darah. Keduanya membentuk corak abstrak pada permukaan cermin, tapi dengan jari telunjuk kanan ia mulai menulis. Hingga tetes ketiga belas, nama lengkapnya berhasil ditatahkan dalam barang yang memantulkan refleksi menyedihkannya.

Mendadak suhu yang sejatinya telah dingin, kini hampir membekukan. Dan apa benar hutan ini tetap hidup walaupun hanya sunyi yang menyapa? Dengkrik jangkrik pun tak ada. Terlalu sepi.

Sofi merangkak seraya membawa kaca bening yang telah ternoda merah dan hitam, benda itu kemudian dimasukkan dalam air danau.
“Dengan lubuk hatiku yang terdalam, kupinta engkau mewujudkan satu permintaan, pertemukan aku dengan kekasih hati pujaan,” untuk terakhir kalinya ia bergumam.

Lamat-lamat sepuluh jarinya melepas pegangannya pada kaca, hingga akhirnya terlepas, lalu sinar suram rembulan terpantul ke wajahnya saat benda tersebut tenggelam hingga dasar.

“Sofi.”

Suara itu!

Melodi yang ia tunggu-tunggu. Tutur lembut Noval saat menyebut namanya.

Asalnya dari kedalaman danau.
**
Seorang gadis kembali ditemukan tewas tenggelam, korban ke 11 pada kejadian berulang tiap 7 tahun.

Judul itu telah menjadi halaman utama koran dalam beberapa hari ini.

Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS