Pernah ada yang
berkata bahwa mimpi apapun yang kalian ingin capai, semustahil apapun, apabila
kalian memikirkannya dengan setulus hati maka suatu saat hal itu akan menjadi
kenyataan.
Tapi coba tebak?
Dunia tidak sebaik itu.
**
Sofi malam itu
sudah putus asa. Sudah hampir satu tahun semenjak kematian kekasihnya, Noval, tapi
hatinya belum tuntas patah. Hanya berbekal satu cahaya lilin temaram yang
beruntung masih menyala serta kemilau perak bulan purnama, matanya yang
dinaungi bayang-bayang berusaha melihat ke dalam cermin yang rusak sudah. Ia
kemudian meraba bekas luka sepanjang lima senti di pipi kirinya, sayatan di
lehernya, dan borok di dahi, air mata kembali mengalir deras, pasalnya ia sadar
tidak akan ada orang lain lagi yang dapat menerima kekurangannya itu selain
sosok tak kasatmata kekasih yang telah meninggal dunia.
Ia berbalik. Apa
yang ia lihat membuat rasa bersalah serta amarah makin menggelak, membuat
dadanya panas sekaligus sesak. Meja kaca terbelah dua, hamburan lilin hitam,
juga potongan-potongan kayu, apapun yang tersisa dari papan ouija. Ritualnya
tidak berhasil. Tidak ada satu pun roh yang permainan bohongan itu tangkap.
Lagi,
perjuangannya untuk bersatu lagi dengan Noval tidak membuahkan hasil.
“Ada satu cara
lagi,” bisknya lebih kepada diri sendiri. Ia ulangi kalimat tersebut
berulang-ulang, salah satu usaha alam bawah sadarnya untuk tetap memberikan
harapan kepada Sofi yang malang.
**
14 September
2019. Ketika itu bulan purnama menggantung jenuh di atas langit, meski awan dan
bintang menemani, cahayanya tetap suram. Di tengah kemuraman malam, seorang
gadis seorang diri melewati celah-celah pohon besar dalam hutan. Gemerisik
antara rok polos yang senada daun dengan rumput liar setinggi lutut menjadi
satu-satunya hal yang mengantarnya selain bayangan. Tidak ada lagi yang ia
takutkan, insting primitif itu telah hilang setelah perlahan mati bersama hati
dan akal sehatnya.
Tak lama
kemudian, ia sampai.
Danau yang
disebut-sebut sebagai “Cermin Jiwa” berhasil ia temukan. Entah kenapa, sejak seminggu
yang lalu danau ini secara aneh tidak bisa ditemukan, mulai dari jalur menuju
hutan yang tiba-tiba terblokir rumpun tanaman, pencarian yang tidak berujung,
pagi yang hampir menjelang walaupun ia masih beberapa menit berjalan, hingga
tanpa sebab Sofi pingsan, tapi tepat pada hari ketujuh akhirnya wujud nyata
legenda tersebut nampak.
Konon katanya,
apabila kamu ingin mengabulkan satu permintaanmu yang tersimpan di dasar hati
yang terdalam, dengan melakukan suatu ritual tertentu di tempat ini, harapan
tersebut akan menjadi nyata.
Untuk pertama
kalinya dalam satu tahun terakhir, jantungnya kembali berdebar.
Ini dia!
Sesuatu, apapun
itu, suatu entitas yang tak dapat dilihat, membuatnya yakin bahwa hal ini akan
berhasil.
Tanpa menunggu
lama, Sofi pun melaksanakan niatnya.
Ia keluarkan
cermin bulat tanpa bingkai dari ransel, sebuah pisau dapur, dan sebatang besar
lilin hitam beserta korek api. Sofi jajarkan barang-barang tersebut di tepi
danau.
Satu kancing, dua
kancing, perlahan kemeja hitamnya terbuka, menampakkan kulit pucat yang nampak
hanya membalut tulang rapuh gadis itu. Setelah melepas pakaian dalam dan kain
lainnya, ia lalu berjongkok. Tangan kecil kurus kering milik Sofi meraih pisau
yang bahkan tidak cukup ia genggam gagangnya, kemudian dengan pandangan kosong
ia tempatkan benda tajam tersebut pada pergelangan tangan, setidaknya di antara
bekas luka iris yang belum sembuh benar.
Belum sempat
angin berhembus, kulitnya telah terpotong, terbuka, berdarah-darah.
Tidak ada jeda
waktu yang ia berikan untuk dirinya sendiri bahkan sekadar untuk bernapas. Sofi
menyambar korek dan buru-buru menyalakannya dengan satu tangan yang tidak
terluka, setelahnya menjaga agar tidak ada udara yang mampu memadamkan api
kecil dalam genggaman. Lilin hitam pun akhirnya bermahkotakan warna merah,
oranye, kuning dan biru. Ia cengkram benda itu dengan kedua tangan seperti ia
berpegang pada nyawanya tepat di atas cermin bulat tanpa bingkai.
“Dengan lubuk
hatiku yang terdalam, kupinta engkau mewujudkan satu permintaan, pertemukan aku
dengan kekasih hati pujaan.” Seolah mantra, kalimat itu ia ulang hingga
berkali-kali. Pada kali ketujuh, setitik cairan hitam mulai meluncur jatuh dari
kepala lilin, ke punggung tangannya, lalu menetes jatuh bersamaan dengan
sepercik darah. Keduanya membentuk corak abstrak pada permukaan cermin, tapi
dengan jari telunjuk kanan ia mulai menulis. Hingga tetes ketiga belas, nama
lengkapnya berhasil ditatahkan dalam barang yang memantulkan refleksi
menyedihkannya.
Mendadak suhu
yang sejatinya telah dingin, kini hampir membekukan. Dan apa benar hutan ini
tetap hidup walaupun hanya sunyi yang menyapa? Dengkrik jangkrik pun tak ada.
Terlalu sepi.
Sofi merangkak
seraya membawa kaca bening yang telah ternoda merah dan hitam, benda itu
kemudian dimasukkan dalam air danau.
“Dengan lubuk
hatiku yang terdalam, kupinta engkau mewujudkan satu permintaan, pertemukan aku
dengan kekasih hati pujaan,” untuk terakhir kalinya ia bergumam.
Lamat-lamat
sepuluh jarinya melepas pegangannya pada kaca, hingga akhirnya terlepas, lalu
sinar suram rembulan terpantul ke wajahnya saat benda tersebut tenggelam hingga
dasar.
“Sofi.”
Suara itu!
Melodi yang ia
tunggu-tunggu. Tutur lembut Noval saat menyebut namanya.
Asalnya dari
kedalaman danau.
**
Seorang gadis kembali ditemukan tewas tenggelam, korban ke 11 pada kejadian
berulang tiap 7 tahun.
Judul itu telah menjadi halaman utama koran dalam beberapa hari ini.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar