"Hei, katanya Pak Edi akan diangkat menjadi Kepala Bagian Pelayanan Medik."
.
"Wah, benarkah? Kupikir Pak Zamil, kau tahu kan, dokter tampan itu."
.
"Ah, benar juga. Tapi kan ... Pak Edi adalah menantu pak direktur, jadi wajar saja."
.
"Tidak adil! Pak Zamil kan—Aw!" Perawat itu melotot ke teman gosip yang sudah menyikut pinggangnya, mata mendelik tidak terima, masih belum mengetahui seorang laki-laki juga menunggu lift bersama mereka.
.
"Pak Edi naik jabatan, ya?" pemuda itu bertanya, di bibir hanya senyum yang bertahta, berbanding terbalik dengan wajah yang tertarik kaku sekeras bata.
.
"E-eh, selamat pagi, Pak Zamil," gelagap perawat itu. Lagi-lagi, kekesalan tertumpah ke orang sebelahnya yang sekarang gugup menatap sepatu.
.
"Santai saja denganku, panggil saja Zamil, umurku baru 20 tahun, lebih muda dari kalian."
.
Ting!
.
"Mari." Pemuda tersebut memasuki lift dengan gerakan elegan, terlihat anggun untuk ukuran seseorang yang bukan perempuan. Mata lebar seirama daun memandang kedua suster itu yang terlihat enggan. "Tidak, Pak. Kami naik lift lain saja."
.
"Ah, baiklah." Senyumnya makin terentang. Pintu elevator tertutup perlahan. Setelah orang lain telah lenyap dari penglihatan, ia berseloroh pelan. "Aku kurang baik menjadi dokter, ya?"
***
"Hai, cantik!" Zamil melangkah riang memasuki sebuah ruang inap.
.
.
"Wah, benarkah? Kupikir Pak Zamil, kau tahu kan, dokter tampan itu."
.
"Ah, benar juga. Tapi kan ... Pak Edi adalah menantu pak direktur, jadi wajar saja."
.
"Tidak adil! Pak Zamil kan—Aw!" Perawat itu melotot ke teman gosip yang sudah menyikut pinggangnya, mata mendelik tidak terima, masih belum mengetahui seorang laki-laki juga menunggu lift bersama mereka.
.
"Pak Edi naik jabatan, ya?" pemuda itu bertanya, di bibir hanya senyum yang bertahta, berbanding terbalik dengan wajah yang tertarik kaku sekeras bata.
.
"E-eh, selamat pagi, Pak Zamil," gelagap perawat itu. Lagi-lagi, kekesalan tertumpah ke orang sebelahnya yang sekarang gugup menatap sepatu.
.
"Santai saja denganku, panggil saja Zamil, umurku baru 20 tahun, lebih muda dari kalian."
.
Ting!
.
"Mari." Pemuda tersebut memasuki lift dengan gerakan elegan, terlihat anggun untuk ukuran seseorang yang bukan perempuan. Mata lebar seirama daun memandang kedua suster itu yang terlihat enggan. "Tidak, Pak. Kami naik lift lain saja."
.
"Ah, baiklah." Senyumnya makin terentang. Pintu elevator tertutup perlahan. Setelah orang lain telah lenyap dari penglihatan, ia berseloroh pelan. "Aku kurang baik menjadi dokter, ya?"
***
"Hai, cantik!" Zamil melangkah riang memasuki sebuah ruang inap.
.
"Jauh-jauh dariku, playboy!" hardik gadis dengan rambut sekelam malam. Matanya berputar malas walaupun pemuda itu telah mengerahkan segala pesona dan perhatian.
.
Alis tebal Zamil terangkat sebelah. Meluluhkan hati perempuan satu ini kenapa amat susah? "Aku bukan playboy."
.
"Haha, katakan itu kepada semua wanita yang kau goda." Wajah kalem gadis tersebut sangat jauh dengan nadanya yang kasar dan sarat sarkasme. "Ah, tapi tidak apa-apa. Lagipula sebentar lagi aku tidak akan bisa melihatnya."
.
Ia tersentak. Lamat-lamat rasa simpati dan kasihan merebak, juga perasaan hangat misterius yang belum tersibak. "Jangan pesimis. Walaupun pengobatan tidak dapat menghilangkan seratus persen sel kanker, kau akan sehat. Percaya saja! Masih stadium satu, belum parah. Yah aku tahu, setelah kemoterapi rambut indahmu itu akan hilang, tapi kau akan tetap jelita seperti biasa, akan kupastikan."
.
Kekehan sinis mengiringi ucapan gadis itu, "Kau tidak tahu apa-apa."
.
Raut dokter keturunan arab tersebut menggelap. "Aku tahu. Untuk apa dua tahun belajar ilmu kedokteran kalau begitu?"
.
"Terserah. Pergi sana! Dokterku yang sesungguhnya akan datang."
.
"Baiklah, Sayang. Aku akan mengunjungimu lagi setelah shift kerjaku selesai, oke?" Namun perempuan tersebut tidak menyahut, Zamil merengut, perhatiannya tidak bersambut, bukulah tempat fokus gadis itu tertaut.
.
Karena kesal, derapnya keras hingga terdengar sampai lorong bangsal. Ia ingin menjaga suasana hatinya tetap baik terhindar dari rasa sebal, tapi terlalu banyak hal buruk yang terjejal. Bahkan pintu yang tidak bersalah ia tutup dengan kekuatan yang tidak masuk akal.
.
"Perubahan keadaan emosi yang labil."
.
Pemuda itu berjingkat, lalu membalikkan badan terlalu cepat, siap menghujani siapa saja dengan mata kejam yang berkilat-kilat. Namun ia malah dihadapkan dengan manik sehijau lautan dan seringai psikopat.
***
Bunyi teratur dari EKG mengisi sunyi, lima orang berpakaian hijau berada di suatu ruang operasi, sibuk membedah sang pasien yang tidak sadarkan diri.
.
"Nah, selesai," ucap salah seorang gerombolan itu. Masker yang ia pakai diturunkan hingga dagu. Zamil hendak mengucapkan sesuatu, tapi disela oleh detak aneh pendeteksi jantung, menandakan ada yang keliru.
.
"Dokter, ada yang salah!"
.
Pemuda itu langsung memeriksa, mendekatkan pipinya ke hidung pria tersebut berharap merasakan udara, tidak ada. Tangannya berada di dada, nihil pergerakannya. Terakhir, jari menekan nadi pada leher untuk memastikan jantung masih memompa darah. Namun tidak nyatanya.
.
"Siapkan defribilator dan advancer airway! Cepat!"
.
Segera Zamil melakukan kompresi dada dan napas buatan. Otaknta berputar mencari alasan. Kenapa pasien tiba-tiba mengalami henti jantung padahal tidak ada kelainan jantung pada catatan kesehatan?
.
Satu. Dua. Tiga. Laki-laki tersebut menghitung tekanan dalam hati, tempo harus dipertahankan dan tanpa henti. Jika tidak ... satu nyawa akan lenyap dari bumi. Riuh ruangan juga tidak boleh menganggu konsentrasi.
.
Suster yang menyeret alat berat seperti yang diperintah segera memasangnya. "Suntik epinefrin 1 mg!" Waktu adalah musuh sekarang. Ketegangan menjalar ke seluruh ruangan. Tubuh pasien makin memucat memudar dari kehidupan, jantung nyaris kehilangan detakan.
.
"Nyalakan defribilator! Cepat!" Napas dokter muda itu sudah tidak beraturan, tapi tanggung jawab dari sebuah nyaawa ada di tangan, ia tidak boleh menyerah sekarang.
.
"Defribilator siap! Tegangan 200 Joule."
.
Sepersekian detik kemudian pengejut jantung di genggaman, Zamil menggosoknya perlahan, tubuh yang nyaris kaku itu terlonjak saat benda itu disentuhkan. Namun tidak ada respon berkelanjutan.
.
Laki-laki arab tersebut mengumpat dalam hati, lalu melanjutkan kompresi. Dada pasien ia tekan dengan harapan detak normal kembali, tapi tetap saja tidak ada yang berarti.
.
Menit-menit berlalu dramatis. Setiap detik yang berjalan membuat kesempatan hidup kian menipis. Sudah dua shock terjadi, apabila kali ini juga tidak berhasil maka usaha telah habis.
.
"Defribilator siap! Tegangan 350 Joule."
.
"Hiduplah," lirih Zamil perlahan, napasnya bahkan tertahan karena ketegangan.
.
Zrrt!
.
"Hiduplah!"
.
Kemudian ....
.
Tit! Tit! Tit!
.
Ia berhasil.
.
Semua yang ada di ruangan itu akhirnya bisa bernapas lega, kejadian tersebut sudah menyita perhatian setiap pasang mata, hingga tidak ada yang tahu bahwa sosok asing ada di pojok ruangan dengan senyum puas di wajahnya.
***
Kemeja dirapikan, rambut disisir ke belakang, Zamil berbenah diri terlebih dahulu sebelum bertemu sang gadis tersayang. Cerita mengenai ia yang menghidupkan kembali orang yang hampir mati akan membuat perempuan itu terkesan, bukan?
.
Pintu terbuka. "Hai, Cantik!"
.
"Halo, Pisces. Aku Zo"
.
Seketika Zamil tegang. Wanita pujaan ada di tangan orang tidak dikenal, tercekik menyakitkan. Tubuh lemah itu tergantung-gantung pada ambang jendela, di tepi kematian. "Apa yang kau lakukan?! Lepaskan dia!"
.
Kikik geli terdengar nyaring. Pria asing bertopeng hitam mengkilat itu berkata, "Gara-gara seorang gadis otakmu berhenti berfungsi? Jika aku melepaskan dia, gadis ini akan jatuh dengan teriakan ketakutan menuju akhir kehidupan, kau tau?"
.
Menghiraukan cercaan. Zamil berlutut memohon pada pria di hadapan. "Tolong jangan sakiti dia, kumohon."
.
"Jadilah anggotaku. Dia bebas."
.
Anggota? Apa maksudnya? Niat ingin bertanya ataupun menolak seketika luruh saat ia melihat raut penuh kepedihan dari gadisnya. "Apapun. Sekarang bebaskan dia."
.
"Lebih memilih hati ya, Pisces? Baiklah. Kemari."
.
Zamil berjalan hati-hati, waspada apabila sewaktu-waktu tindakan gila terjadi.
.
"Selamat datang di The Zodiac, Pisces." Mereka berjabatan. Namun seketika tangan Zo lepas dari genggaman, kerjap selanjutnya jari pria itu menekan dahi, percik biru kehijauan adalah apa yang Zamil lihat sebelum kegelapan membawanya tidak sadarkan diri.
.
Zo segera menarik kembali tangan kanannya, gadis itu luruh di lantai seketika. "Sialan!"
.
Pria bertopeng hitam tersebut turun dari ambang jendela tanpa rasa bersalah. "Kerja bagus, Virgo." cetusnya tanpa menghiraukan Virgo yang kini menatap tubuh lemas Zamil dengan pandangan tidak biasa.
.
"Maaf."
.
Tamat.
Kritik saran?😌
Tidak ada komentar:
Posting Komentar