Aku gelap apapun tentang manusia, tapi setidaknya ... aku tahu sebuah kisah salah satu dari mereka. Cerita mengenai rasa takut, takut akan lupa.
***
Rain tertegun, untuk sesaat tubuhnya mematung. Kemudian gadis itu termenung. "Apa yang akan kulakukan?"
.
"Mana sepatuku, Rain?" teriakan dari suaminya, Surya.
.
"Ah, benar! Sepatu!"
.
Segera ia menyambar sepasang sepatu yang tergeletak di bawah meja rias. Kemudian, menghampiri pria kesayangannya dengan bergegas.
***
Awalnya hanya ingatan-ingatan sepele yang perlahan memudar. Namun siapa sangka apabila masalah akan bertambah besar?
***
Rain sedang melamun saat bau terbakar itu merambat di udara, belum sempat ia bereaksi saat itu juga api membakar tubuhnya, lupa jika badan bersandar pada kompor yang tengah menyala.
.
***
Rain tertegun, untuk sesaat tubuhnya mematung. Kemudian gadis itu termenung. "Apa yang akan kulakukan?"
.
"Mana sepatuku, Rain?" teriakan dari suaminya, Surya.
.
"Ah, benar! Sepatu!"
.
Segera ia menyambar sepasang sepatu yang tergeletak di bawah meja rias. Kemudian, menghampiri pria kesayangannya dengan bergegas.
***
Awalnya hanya ingatan-ingatan sepele yang perlahan memudar. Namun siapa sangka apabila masalah akan bertambah besar?
***
Rain sedang melamun saat bau terbakar itu merambat di udara, belum sempat ia bereaksi saat itu juga api membakar tubuhnya, lupa jika badan bersandar pada kompor yang tengah menyala.
.
Lolongan kesakitan membahana detik kemudian. Perempuan itu berlari tidak karuan, berharap panas yang melingkupi segera padam, hingga akhirnya tibalah ia di kamar. Para tetangga segera berdatangan, mereka menjerit saat terpampanglah keganasan si jago merah itu berusaha menghanguskan raga lemah Rain bersama pakaian yang kebakaran.
.
Aku? Hanya mampu menyaksikan.
***
"Sudahlah, jangan menangis." Tangan hangat Surya mengelus perlahan, tapi tetap saja punggung wanitanya gemetaran, tidak henti-hentinya sesenggukan. Air mata terus mengalir walaupun tahu cairan asin itu membuat kesakitan.
.
"Ini salahku."
.
Wajah Rain terangkat perlahan, menampilkan separuh kulitnya yang kemerahan, juga mata kanan penuh air mata kepedihan, sedangkan yang kiri tidak bisa terbuka karena kebakaran.
.
"Ini ... salahku." Kata itu terucap lagi, diiringi nada penyesalan dan pedih yang mampu mengiris hati.
.
Surya terlalu tenggelam dalam kesedihan yang terjabarkan pada manik istrinya, merasa seolah jantung terkoyak brutal di dalam dada. Mata pria itu mulai memerah menahan tangis atas nama duka.
.
"Bukan, Rain. Sudahlah, yang penting kau selamat."
.
"Tapi kita menghabiskan semua tabungan untuk anak kita kelak! Hanya untuk perawatanku! Perawatan yang tidak berguna karena aku tetap cacat! Dan itu semua hanya karena aku lupa! Lupa!" Rain tersedak oleh tangisnya sendiri, lalu pernyataannya mengalir lagi, "Sekarang bahkan aku tak yakin kau mau dengan wajah ini, begitu pula anak kita, tidak mungkin ia sudi memiliki ibu cacat sepertiku."
.
"Cukup, itu tidak benar!"
.
Segala kelembutan tersalur lewat pelukan mereka. Kasih sayang dan kesedihan terbagi bersama
.
Dan saat itulah Rain tertegun.
.
"Siapa kau?!" Wanita itu meraung marah. Meradang saat dengan seenaknya pria di hadapan menjamah.
.
"Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?" Kerutan muncul di kening Surya. Rasa bingung berputar-putar di kepalanya. "Tentu saja aku suamimu."
.
"Suami apa maksudmu? Aku tidak—" Selanjutnya Rain terdiam. Membiarkan keheningan merajalela dengan mencekam.
.
Lalu teriakannya memecah malam. "Tidak! Aku tidak mungkin lupa!" Detik itu juga ia melihatku, benci dan rasa tidak terima jelas tergambar di mata itu.
***
Sungguh malang, ekonomi yang sulit tidak bisa membawa Rain guna memeriksa jiwanya yang terguncang. Setiap hari ia mencari jawaban, setiap usaha dikeluarkan, agar penyakit lupanya ini hilang.
.
Sekarang ia bahkan menuliskan segala biodata dirinya dan Surya di lengan, berjaga-jaga saat ia kembali hilang ingatan, karena mengunakan kertas tidak membuat perbedaan jika ia lupa di mana benda tersebut diletakkan.Dan bukan sekali dua kali bergunanya kulit penuh coretan.
.
Bertambahnya hari membuat wanita itu makin takut. Bagaimana kalau ia lupa segalanya? Lupa tentang hidup bahagianya yang semula? Lupa untuk bernapas? Bahkan khawatir bahwa jantungnya akan lupa memompa darah.
.
Namun ... itu belumlah puncaknya.
***
Suatu malam yang penuh petir tanpa hujan, Rain terbangun dengan enggan, merasa tidak nyaman. Refleks ia membalik badan, agar wajahnya berhadapan dengan suami tersayang. Dan detik itu juga horror paling menakutkan berada di depan.
.
Mata Surya hampa tanpa kehidupan, tubuh dengan darah yang berlumuran, juga kepala dalam keadaan terpenggal.
.
Berdebum terdengar saat ia terjatuh dari ranjang, dan denting yang mengikuti membuat Rain sadar dengan pisau di tangan, juga air anyir di seluruh badan.
.
"Tidak!"
.
Suami penyayangnya telah tiada. Satu-satunya pria yang menerima Rain apa adanya hilang sudah. Karena dirinya, yang bahkan lupa bagiamana kejadian itu menimpa.
.
"Tidak!"
.
Panik, cemas, murka, dan duka melintas silih berganti di wajah. Tanpa disangka, ia bangkit sarat dengan amarah. "Kau! Ini gara-gara kau!" Pisaunya teracung-acung mengancam ke arahku, amukan langit serta ledakan emosinya beradu.
.
Tapi aku tetap bergeming.
.
Mendadak Rain tertawa dengan gelak mengerikan, kerjap selanjutnya air mata mengalir tanpa dihentikan, lalu beberapa saat kemudian isaknya menjadi lolongan, dan akhirnya ... wanita itu terdiam.
.
Perempuan tersebut telah melupakan kewarasan.
.
Selanjutnya, bahkan tidak sampai satu kedipan mata, sebuah kursi menghantam keras ke arahku yang diam saja, menghancurkan tubuh berkeping-keping sebagai salah satu bentuk pelampiasan hati yang patah.
.
Namun tetap saja tidak ada yang bisa kulakukan, saat wanita itu mengiris kejam nadi di pergelangan tangan, sewaktu darah mengucur deras tanpa bisa dihentikan, bahkan saat perlahan-lahan cahaya kehidupan menghilang dari matanya yang dulu kemilauan.
.
Memangnya apa yang bisa kulakukan? Aku hanya cermin yang kini pecah berhamburan.
.
The End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar