"Ri, beneran dia udah pulang, kan?" Tidak ada sahutan.
"Ri? Ri?!"
"Iya! Masya Allah, apa salah hamba sehingga mendapat sahabat tidak berperikemanusiaan seperti dia, ya Allah?" Sekuat tenaga aku menahan keinginan untuk memutar bola mata. Perempuan satu ini memang lebay, jadi maklumi saja.
"Ri? Ri?!"
"Iya! Masya Allah, apa salah hamba sehingga mendapat sahabat tidak berperikemanusiaan seperti dia, ya Allah?" Sekuat tenaga aku menahan keinginan untuk memutar bola mata. Perempuan satu ini memang lebay, jadi maklumi saja.
"Lu yakin, si Playboy itu udah nggak ada?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan. Hidup yang semula tenang, sekarang hancur! Kenapa? Dua puluh tahun sudah aku nyaman dengan jalan takdirku yang sering diabaikan orang, tapi pria kurang ajar itu memusnahkannya. Tampan, keturunan luar negeri, cerdas, fashionable, dan semua barang yang dipakainya seolah meneriakkan kata 'uang', itulah satu paket yang akan secara otomatis membawamu ke dalam ketenaran, sialnya dia seenaknya berusaha menyeretku ke dalam dunia gemerlap itu dengan meneriakkan ke seluruh kantor kalau dia "mencintaiku"! Jadilah setiap pagi, siang, sore, bahkan malam para perempuan centil yang biasanya menggelayut di sekitarnya memandangku sinis, mencibir, menyebarkan rumor tidak benar, bahkan—Ah, I'm speechles, mungkin saking banyaknya tingkah keji mereka. Aku tidak terbiasa dengan "perhatian" seperti itu seumur hidup. Lalu ... cinta? Cih, bahkan aku tidak tahu apapun selain nama panggilannya, Su-Susi? Oh bukan, itu teman semejaku. Suga? Ah iya, itu! Lihat, bagaimana aku mencintai orang yang bahkan informasi seperti itu saja lupa?!
"Iya, Mbak, Neng, Eonni, Onee-san! Bisa nggak sih berhenti tanya itu mulu? Juga nih ya, besok dia ditugasin ke luar kota selama satu bulan!" Aduh, kalau marah manisnya ....
"Yaudah, pulang dulu. Bye, Ri!" Dia meringis kesakitan saat kucubit pipi tembem itu, kemudian segera melarikan diri sebelum memberikan kesempatannya untuk melempar brutal barang-barang yang ada di mejanya. Jangan salah, Ria memang kalem dan imut, tapi bisa juga menjelma ganas.
Teriakan lucunya menggelegar hingga lantai bawah, membuatku terkikik geli sepanjang jalan.
***
Kau tahu ...? Jalanan Surabaya terlihat amat angker jika kau mengelilinginya saat malam, sendirian pula.
Flat shoes-ku menimbulkan bunyi gemerisik tiap menapak tanah. Yang aneh, suaranya seperti bergema, walaupun aku yakin tidak ada media apapun yang dapat menyebabkan gema di sini.
Atau jangan-jangan ....
Aku saja yang tidak pernah mendengarkan penjelasan guru fisikaku mengenai bunyi dan gelombang?
Satu langkah.
Dua suara.
Tiba-tiba hawa dingin menyerbu tanpa permisi, membuatku berhenti sejenak untuk merapatkan jaket. Namun suara langkah itu tetap ada.
Jika, begini artinya ada yang mengikutiku! Tapi siapa?! Hantu? Oh, jangan-jangan penguntit? Perampok? Pemerkosa?! Pen—
Bugh!
Hantaman keras di belakang kepala membuat denyut sakit yang mengerikan menyeruak, dan perlahan-lahan semua inderaku terasa mati, kegelapan menggilas kesadaranku yang tersisa.
***
Setitik cahaya remang muncul, hidungku kembali berfungsi dan mencium bau lavender yang menenangkan, kain selembut sutra menyentuh kulit, selanjutnya menyadari bahwa kerongkonganku mengalami dehidrasi, diikuti rasa pening luar biasa yang membuatku meringis. Meski berat, aku mencoba membuka mata yang terasa seperti sudah dilem. Atap kasur dengan kelambu putih menyambut penglihatanku.Dengan paksa kutolehkan leherku kanan-kiri, hanya perabot putih, dinding putih, dan jendela berteralis yang membingkai pemandangan mistis hutan malam di sana, juga bulan purnama.
Inikah surga?
Jika benar ..., kenapa tangan dan kakiku diikat?!
Cklek!
Tubuh refleks menegang, tangan menggenggam erat serat putih yang membelengguku, dan sadar napasku tertahan.
Seorang pria berjalan lambat ke arahku, tubuhnya tinggi, atletis, dan agak membungkuk, juga kepalanya menunduk.
"Kau penculikku, kan?! Lepasin gue! Lepasin! LEPASIN!"
Sekelebat ia langsung di hadapanku, membungkam mulutku dengan panik, namun seketika itu juga terlepas. Aku berteriak lagi, "Lepasin gue! Organ-organ gue juga udah rusak semua, wajah jelek kayak gue nggak bisa jadi wanita penghibur, jadiin pembantu pun gue pasti males-malesan di rumah majikan. Lo yang bakal rugi! Lepasin!'
Laki-laki itu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya sendiri, memerintahkanku untuk diam. Kemudian tangannya bergerak-gerak membentuk bahasa isyarat yang kupelajari saat menjadi relawan di lembaga sosial.
/Jangan berisik. Nanti kamu akan aku kasih makan dan minum kalau diam/
Aih, penculik ini ..., menggoda sekali tawarannya.
Eh, tunggu ....
Dia bisu?!
Tbc ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar