Pages

Tied Up! (Bab 2: Gue Diculik Beneran?)

Minggu, 16 April 2017

"Oi,  Mas, Pak, Bang,  Paman,  Kakek,  atau apapun panggilan lu,  tolong lepasin gue!  Kalau nggak ... em,  kalau nggak ...." Haduh,  penculik biasanya diancam apa?

Lagi, dia menggerakkan tangannya. /Tenanglah. Aku tidak akan menyakiti kamu./

Laki-laki itu mundur beberapa langkah, kemudian saklar lampu dihidupkan. Mataku yang masih terbiasa dengan gelap, sekarang menyipit karena silau. Dan saat aku tanpa sengaja menangkap rupa penculikku, silau itu makin terang, hampir membutakan. Tampan sekali dia, bagaimana bisa segala keindahan di dunia ini seolah tumpah pada wajahnya?

Aih, dia penculik!  Ingat itu!

Namun tetap saja,  mulut yang jarang merasakan sensasi manis pasti akan ketagihan saat dihadapkan dengan coklat, sama kasusnya dengan mata.  Dan dia adalah coklat itu.

Kuperhatikan lagi penampilannya.  Kemeja yang ia pakai terlihat kusut,  dan tidak terkancing dengan benar.  Rambut sehitam arang yang terlihat lembut,  tapi berantakan,  seolah tidak pernah menyentuh benda bernama sisir.  Dan celananya jinsnya ... Oh tidak,  jangan dilihat!

Perlahan kaki panjang tersebut melangkah ke arahku, agak ragu. Kepalanya tertunduk dalam,  dan jemarinya saling terkait, bermain-main di genggamannya. Dia ... takut?

Hei, aku yang diculik, kenapa dia yang gemetar?! Tidak adil ....

"Lepasin gue," desisku tajam.  Dia terlonjak.  Matanya tidak bisa fokus ke arahku, seolah menghindar.  Lagi,  ia berbahasa dengan tubuhnya.

/Kau mau minum? /

Otak meneriakkan kata "ya" dengan sangat keras,  bentuk refleks pertahanan diri dari segala bentuk ancaman kehidupan seperti dehidrasi.  Tapi bagaimana jika minuman itu diracun agar aku cepat mati?  Atau diberi obat aneh agar aku tidak sadarkan diri lagi?  Atau,  atau,  dan masih banyak kata "atau" lagi di pikiran.

Menyadari tatapan tajam dan curigaku,  kepalanya terus melihat lurus ke arah lantai dan tangannya bergerak cepat, panik.

/Tidak ada apa-apa. Hanya air. Dan makanan jika kau lapar./ Mata bening coklatnya yang sedikit berair mengintip di balik poni saat ia sedikit mendongak.

Ugh, bagaimana bisa aku tidak percaya dengan tatapan polos itu? Tapi dia penculik kan?

Keadaan makin membuatku bingung.

Untuk ukuran laki-laki seumurannya, dia terlihat gagah dan atletis, tapi  di  sisi  lain  sikapnya  seperti ... anak  kecil  jika  aku  yang  menyebutnya. Ia  ketakutan  saat  dibentak, bahkan  hampir menangis. Dan  lihatlah  penampilannya  yang  begitu  tidak  mandiri, ia tidak bisa berpakaian sendiri menurutku. Pasti ada masalah dengan mental pria ini.

Kemudian sebuah ide segera terlintas.

"Aku lapar. Tolong ambilkan makanan."

Dengan cepat ia mengangkat kepalanya, lalu mengangguk-angguk dengan mata berbinar-binar. Detik selanjutnya ia sudah hilang  dari hadapanku. Dan butuh beberapa kedipan untuk melihatnya lagi, dengan nampan di tangan. Ia duduk penuh semangat di kursi samping ranjang.

"Eh,  Tuan,  bagaimana jika lu—maksudku, kau melepaskan ikatanku dan membiarkanku makan sendiri."

Ekspresi gelap yang menggemaskan tercetak di sana.  Bibirnya mengerucut lucu,  dan maju beberapa senti, keningnya mengerut dalam, alisnya menekuk tajam terlihat tidak setuju, berusaha menyuarakan penolakan dengan rautnya.

"Ayolah,  kumohon,  aku tidak mau gadis mandiri sepertiku disuapi oleh pencu—maksudku,  siapapun, " kataku bermanis-manis ria dengannya.

Wajahnya tetap sama.  Masam.

"Kumohon." Suaraku bergetar dengan sengaja dan wajahku muram, berusaha terlihat memelas dari segi manapun. Ha, tidak sia-sia aku mengikuti teater!

Ia berdiri,  masih memasang ekpresi yang sama,  tapi tangannya bergerak lamat-lamat meletakkan nampan di nakas, kemudian melepaskan tali sialan yang mengikatku.

Sudah kuduga! Jika dalam keadaan normal, ia takkan melakukan itu untuk alasan yang konyol.

Akhirnya! Tanganku bebas!

Aku berusaha duduk, meringis saat sakit mendera kepalaku yang kemarin malam—eh, malam ini, ah terserah—dipukul dengan sangat tidak manusiawi.

"Namamu siapa?" Pertanyaan ini sebagai salah satu bentuk usaha penurunan kewaspadaan,  walaupun aku juga penasaran.

Cahaya kembali ke matanya, ia menengadahkanku telapakku  kemudian menulis sesuatu dengan jarinya.

"Jimin?" Berkali-kali ia mengangguk antusias.

"Baiklah, Jimin,  bisakah kau mengambilkan kecap?  Aku tidak terbiasa memakan segala sesuatu tanpa kecap."

Sesaat dia ragu. /Jangan lari. /

Selanjutnya, yang terjadi adalah aku mengabaikan peringatan itu. Segera aku tergopoh-gopoh melepaskan ikatan di kaki. Aih, susah sekali. Tapi membuahkan hasil.

Kakiku sempat kesemutan sesaat, tapi langsung kupaksakan untuk berlari. Sakit jelas, tapi usahaku mengabaikannya berhasil

Lorong di kanan kiriku semuanya berwarna merah gelap. Terkesan kelam dan menakutkan. Banyak lukisan kuno berjajar-jajar,  yang seolah mata dalam gambaran-gambaran tersebut mengikuti segala pergerakanku. Oh tidak, aku tak memperhitungkan luas rumah ini! Belokan demi belokkan kulalui dengan asal,  berharap kali ini saja bahwa dewi Fortuna memihak padanya. Nyatanya tidak.  Aih!

Gawat!  Langkah berdebum keras terdengar di belakang.  Dia menyusul!

Di depanku terdapat dua belokan. Panik,  kutolehkan kepalaku ke belakang.  Benar,  dia di sana!  Mengejar dengan murka! Tidak usah bepikir panjang, aku langsung mengambil arah kiri tanpa melihat arah depan,  berusaha menjaga pandangan dengan waspada. Saat belokan itu terlewati,  semuanya terlambat.

Beberapa langkah kuambil tanpa bisa dihentikan,detik selanjutnya tubuhku menabrak pagar balkon. Gravitasi membuat tubuhku terjungkal.  Tanganku refleks mencari pegangan.  Dapat!  Dadaku berdenyut nyeri saat bertubrukan dengan teralis.  Tubuhku tergantung-gantung lemah.  Bahkan diriku sendiri takut bahwa angin dapat langsung menjatuhkanku sekali tiup. Dan di bawah sana, jurang menganga,  siap melahap tubuh siapa saja yang jatuh ke arahnya. Lebar,  gelap dan menyeramkan. Terlihat amat dalam, seolah tanpa dasar.

Tidak!

Inikah akhir hidupku?

Jangan, kumohon. Aku tidak mau mayatku ditemukan tanpa bentuk.

Aku terlalu terpaku dengan kematian yang dihadapkan langsung di depanku. Terlalu dikuasai oleh ketakutan. Tidak sadar saat tangan kokoh menarikku dari keterombang-ambingan. Tidak sadar saat tubuh hangat merengkuhku dalam balutan kenyamanan. Bahkan tidak sadar saat diriku diikat lagi, kemudian ditinggalkan bersama kekosongan, kesepian, segelas air, sepiring makanan dingin, dan sebotol kecap.

Tbc...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS