Jika kau berpikir masa depan akan menjadi "wah!", maka kuberitahu ... berhentilah berkhayal!
Biar kujelaskan sedikit keadaan di sini.
Aku tak tahu mulai kapan para ilmuwan gila berpikir tentang menyelamatkan planet, tapi yang jelas semuanya menjadi kacau gara-gara mereka. Hijau. Hijau. Hijau. Dan hijau! Jika kita bicara tentang pengibaratan, maka rasa muakku terhadap warna tersebut dapat dibandingkan dengan luas alam semesta.
Jangan menuduhku berlebihan! Well, kau belum tahu saja rasanya dikejar-kejar dan hampir mati di tangan tanaman yang dulunya punya otak.
Seminggu yang lalu, sebuah ledakan besar terjadi di Finlandia, kemudian tiba-tiba saja serbuk dan biji-bijian kekuningan menyebar ke seluruh dunia. For your information, itu bukan nuklir, sama sekali. Namun efeknya lebih parah dari genosida besar-besaran. Kiamat!
Dari apa yang kubaca pada berita di internet, serbuk dan biji-bijian tersebut adalah hasil penelitian ahli sains dan biologi yang berinisiatif membuat spesies tanaman yang dapat tumbuh di mana saja dengan sangat cepat, kuulangi lagi, di mana saja dan sangat cepat!
Niat mereka baik memang, tapi idenya amat bodoh!
Tidakkah idiot-idiot itu pernah membayangkan bagaimana jadinya jika saat proses pembuatan akan terjadi kesalahan lalu "BOOM!"? Setelah itu, buah pemikiran mereka yang terlampau jenius menginfeksi hamparan bumi, bahkan termasuk tubuh manusia.
Greener, netizen menyebutnya demikian. Nama yang payah, I know. "Lebih hijau"? Hah! Walaupun istilahnya sangat cocok. Manusia yang terkena wabah ini kulitnya lama-kelamaan menjadi hijau, kemudian tumbuhlah akar, batang, ataupun tunas di salah satu bagian tubuh mereka, hingga pada akhirnya menjadi tanaman utuh, hanya saja dengan versi yang jauh lebih besar, mengerikan dan bisa berjalan. Namun masalahnya di sini adalah ... greener butuh tumbal untuk tetap hidup karena zat hara dalam tanah tidak cocok untuk mereka. That's right, Nerd, they will suck your body for their nutrition and photosynthesis!
Sangat lucu, bukan? Seolah kau masuk ke dalam variasi berbeda dari game "Plantz vs Zombie" sebagai manusia yang mati-matian bertahan hidup dan tumbuhan-tumbuhan itu menjadi antagonisnya.
Haha.
*
"Lari, Bodoh! Lari!"
Sulur-sulur kecoklatan yang besarnya tidak masuk akal sebisa mungkin kuhindari, menjauh dari kemungkinan tertangkap oleh makhluk hijau lain selain monster di belakangku saat ini. Aroma lumut yang ada di mana-mana membuatku sedikit pusing saking kuatnya, tambah lagi perih karena goresan-goresan duri dari tadi, dan bahkan jantungku hampir meledak gara-gara lari marathon yang tiada henti sejak lima hari lalu.
"Tunggu, Ded!" Seorang gadis terengah-engah dalam langkahnya yang terhambat oleh rok. Fonya.
"Cepatlah, greener di belakang tidak akan menunggumu istirahat saat kau memintanya, Bodoh!"
Dari jarak 50 meter masih bisa kudengar gemerisik akar monster tersebut saat menggesek rumput setinggi mata kaki di gedung ini. Sangat mengganggu dan membuat merinding. Dan bunyi itu makin keras dan jelas tiap detiknya.
"Ded!" Fonya melolong putus asa memanggil namaku. Belum sempat satu detik kemudian suara "gedebug" nyaring menyusul, jelas bukan pertanda baik.
"Tolong!"
Ah, sialan!
Aku berbalik secepat mungkin, mengambil tiga langkah lebar untuk meraihnya dan beberapa detik untuk membuat gadis itu kembali berdiri. "Dasar ceroboh!" Ingin sekali kutambahkan beberapa hinaan tentang tinggi dan berat badan yang akan langsung membuatnya murka, tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat.
"Pegang tanganku erat-erat, jangan dilepas dan usahakan untuk tidak ceroboh." Tanpa menunggu jawaban dia sudah kutarik kencang, butuh upaya tambahan seperti mengangkat roknya tinggi-tinggi agar ia tidak terjerembab, bukan bermaksud tidak sopan, namun--hei! Kita berada dalam keadaan di antara hidup dan mati!
Ruangan lebar yang penuh dengan jamur, juga semak-semak gatal yang menutupi sebagian kursi dan meja menyambut kami sesaat setelah berbelok dari lorong tadi, kuteliti sesaat, kemungkinan besar ruangan ini dulunya adalah lobi sekolah. Bagus, jadi artinya pintu kaca berlumut di depan adalah jalan keluar.
"Ayo!"
"I-iya," patuh Fonya sembari membetulkan genggaman kain rok di tangannya.
Saking semangatnya menuju pintu itu, gadis yang kugenggam erat saat ini hampir tersaruk dan jatuh, agak kasihan dan gemas melihatnya. Tepat saat telapakku menyentuh kenop, greener itu meraung marah, lebih dekat dari dugaanku.
"Cepat!"
Cahaya di luar tidak lebih terang daripada dalam ruangan, langit sudah terlalu rapat ditutupi berbagai daun mangga, jambu, pinus, bahkan cemara hingga kelapa. Udaranya pun didominasi bau tanah dan lumut.
Kukira perjalanan penuh ketegangan dengan si mawar berakhir, nyatanya tidak. Meski butuh usaha ekstra untuk makhluk itu keluar melalui pintu yang hanya setengah tingginya, dia berhasil. Keparat! Biasanya para tanaman tersebut lebih suka mendekam dalam gedung tempat sarangnya berada, tapi sepertinya kali ini aku mendapat greener yang keras kepala.
"Di sana!" pekikan Fonya menyadarkanku akan keberadaan papan nama sebuah minimarket yang hampir seluruh dindingnya tertutupi tanaman rambat serta diapit oleh warung bobrok dan pom mini.
"Oke, mari lihat apakah kita bisa berlindung di situ." Fonya sudah lebih dulu melangkah. Gadis itu terengah-engah, keringat bahkan mencetak jelas punggungnya yang tertutupi kaus putih, dari sorot mata kelihatan sekali kelelahannya. Well, aku juga sama, bahkan lebih buruk.
Tanda "tarik" masih terlihat saat kami ingin membuka pintu, namun kewaspadaan terhadap si greener mawar membuat aku dan Fonya tidak sadar akan kehadiran makhluk lain di pojok belakang ruangan itu. Greener lain. Tingginya mencapai langit-langit. Bentuk tubuhnya tidak asing lagi bagiku sejak kelas 4 SD. Venus, tanaman karnivora yang menyantap serangga, dan sekarang pastinya tidak perlu diragukan lagi juga memangsa manusia, bahkan masih ada seonggok lengan mencuat di antara sela-sela mulut makhluk tersebut.
Langsung kubekap mulut Fonya sebelum dia menetapkan niat untuk berteriak. "Tenang," bisikku dalam telinga gadis itu. Memang mudah mengatakan, tapi sulit menerapkannya saat jantungmu sendiri seolah berada di telinga.
"Tenang."
Si mawar sudah tidak jauh, di sisi lain si venus menunggu, hanya perlu sedikit suara untuk membuatnya sadar kami ada di sini.
Sialan!
Kugeret pelan Fonya ke samping pintu masuk, menutupinya dengan beberapa tanaman, lalu memantapkan pegangan gadis itu pada kenop. "Buka pintu ini selebar yang kau bisa," titahku, Fonya mengangguk walaupun wajahnya jelas bingung dan ketakutan.
50 meter jarak si mawar dan aku berhasil menemukan kursi besi yang biasanya disediakan pada gunungan tanaman rambat. "Ayo sini, Brengsek!" Tangkai-tangkai berdurinya ikut bergetar marah saat si mawar meraung. Gemerisik di belakang sepenuhnya kusadari sebagai tanda bahwa venus mulai bangun.
Semoga rencana ini berhasil.
Satu langkah ke belakang, dua langkah, kemudian tiga, lalu seterusnya hingga aku berada 5 meter di depan venus.
Getar tanah menandakan para greener makin mendekat padaku. Fonya menatap dari balik sulur tanaman dengan wajah panik, yang kubalas dengan seringai "tidak peduli dengan dunia" ala Dedi.
Sepuluh meter tinggal si mawar mendekat, tepat di belakang kurasakan kehadiran si venus yang mengancam. Dan saat greener berkelopak bunga sialan itu berhasil melewati pintu, aku berlari sekencang yang kubisa, kemudian sengaja jatuh dan meluncur agar dapat melewati sela-sela akarnya yang berbentuk kaki besar. Nyaris berhasil. Nyaris.
Pada saat-saat paling menentukan dalam hidup, kakiku malah tersangkut tanaman rambat.
Sialan kau dunia tidak beradab!
"Bodoh!"
Fonya sigap menarikku keluar dan langsung menjanggal pintu dengan kursi yang kutemukan tadi.
"Setidaknya beritahu rencanamu agar aku bisa membantu, Mr. Arrogant!"
Aku selamat? Wah.
Namun kesenanganku dirusak oleh dobrakan buas dari para greener di dalam sana. Beberapa retakan kecil sudah tercipta akibat mereka, kurasa kaca supermarket ini takkan bertahan lama.
Segera aku berdiri walaupun harus bersusah payah. Adrenalin sudah tidak tahan dengan kelelahanku ternyata.
"Haruskah kita berlari lagi?" Fiona bertanya dengan wajah yang amat tidak yakin. Pasalnya, kami berdua sudah kehilangan tenaga.
Mencermati keadaan sekitar dengan bergegas membuatku sadar dengan beberapa botol bensin yang berjajar dalam kotak berkarat di depan warung bobrok. Siapa yang dengan bodoh bersaing menjual bensin di samping pom mini? Ah, sudahlah.
Kuajak Fonya mendekati kotak besi tersebut, lalu mengambil botol sebanyak yang bisa kupeluk, dan menyuruh gadis di sampingku mengurus sisanya. Saat kulempar ke arah atap supermarket botol-botol itu seketika pecah dan menguarkan bau yang menyengat, dua tidak berhasil karena lenganku terlanjur nyeri dan akhirnya jatuh ke lantai. Fonya meniru apa yang kulakukan.
"Menjauh." Korek yang kusembunyikan di saku saat aku ingin merokok tanpa ketahuan guru maupun ibu ternyata sekarang ada manfaat baiknya.
Api membara ganas sewaktu korek yang menyala itu kulemparkan, bahkan sedikit mengenai tanganku. Aku mundur selangkah demi selangkah sembari lengan kanan memalang di depan perut Fonya agar dia tidak terbakar juga. Jarak kami cukup untuk menghindari api tapi belum cukup untuk menghindari panasnya, namun terasa seperti hembusan angin surgawi bagiku.
Para greener itu melolong. Tubuh mereka yang hijau sekarang merah terpanggang. Epidermis sedikit demi sedikit meleleh dan menguak tulang di dalamnya. Happy death day, f*cking greener!
"Mari pergi sebelum apinya menyebar luas." Setelah puas tersenyum dan melihat keparat-keparat itu mati, Fonya segera kuajak mencari tempat berlindung yang lain.
Yang tak kusangka dia tidak bergerak, malah menguatkan gandengan tanganku. "Kenapa kau menolongku? Padahal kita hanya teman sekelas. Saat aku terjatuh bisa saja kau langsung lari, kan?" tanya gadis itu bersungguh-sungguh, apalagi ditambah efek nyala api di matanya membuat aku tertegun dua kali.
"Aku hanya ingin melakukannya, Bodoh!" Alasan konyol ini bohong. Namun aku terlalu malu mengatakan yang sebenarnya.
"Jangan-jangan kau suka--"
"Jangan seenaknya berspekulasi! Bisakah kita pergi? Sangat panas di sini!"
Fonya seolah tuli. Senyum menyebalkan yang mengisyaratkan "oh, aku tahu" terpampang jelas di wajah bodohnya.
Ah, biarkan saja.
Perlahan kuelus tonjolan tunas di pusarku yang sekarang menghijau. Lebih baik Fonya tidak tahu bahwa takdirnya menjadi nutrisi pertamaku.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar