Ia mematut diri. Perlahan bibirnya dimerahkan oleh lipstick di jemari, juga menyapukan warna cerah yang meronakan pipi. Rambut indah panjang bergelombang ia gerai, cantik bak peri.
"Apa-apaan ini?!" Ibunya menderap murka. Kerjap selanjutnya, segala alat rias pecah berhamburan, jatuh mengenaskan dari meja.
Plak! "Kau itu laki-laki, Dito!"
Mata coklat bening itu berkaca-kaca, tapi tidak sudi ia menangis di hadapan ibunya. "Aku Dita, Bu! Kak Dito sudah mati! Mati!"
Wajah wanita paruh baya tersebut makin memucat menahan geram. Tanpa basa-basi surai hitam Dita dicengkram, menggeretnya ke kamar mandi bersama tubuh mungil yang terseret kejam. Sampai di sana, kepala ditenggelamkan paksa dalam kubangan air keran. Setengah menit lamanya, saat kembali diangkat gadis itu terbatuk hebat, hidung serta mulut terbuka berusaha meraup sebanyak mungkin oksigen yang ada. Belum sempat bernapas benar, ia kembali dihempaskan ke lantai oleh ibunya. Lalu desing aneh terdengar di telinga, matanya melebar ngeri dengan apa yang ibunya bawa, kabur sudah terlambat karena tubuh wanita paruh baya tersebut telah menindihnya, mengekang raga.
"Apa-apaan ini?!" Ibunya menderap murka. Kerjap selanjutnya, segala alat rias pecah berhamburan, jatuh mengenaskan dari meja.
Plak! "Kau itu laki-laki, Dito!"
Mata coklat bening itu berkaca-kaca, tapi tidak sudi ia menangis di hadapan ibunya. "Aku Dita, Bu! Kak Dito sudah mati! Mati!"
Wajah wanita paruh baya tersebut makin memucat menahan geram. Tanpa basa-basi surai hitam Dita dicengkram, menggeretnya ke kamar mandi bersama tubuh mungil yang terseret kejam. Sampai di sana, kepala ditenggelamkan paksa dalam kubangan air keran. Setengah menit lamanya, saat kembali diangkat gadis itu terbatuk hebat, hidung serta mulut terbuka berusaha meraup sebanyak mungkin oksigen yang ada. Belum sempat bernapas benar, ia kembali dihempaskan ke lantai oleh ibunya. Lalu desing aneh terdengar di telinga, matanya melebar ngeri dengan apa yang ibunya bawa, kabur sudah terlambat karena tubuh wanita paruh baya tersebut telah menindihnya, mengekang raga.
Masih menahan isakan dan air mata yang mengancam tumpah, Dita membiarkan pencukur listrik di tangan ibunya mulai memangkas habis rambut di kepala, percuma saja ia memberontak jika hanya membuat teriris kulitnya dan kucuran tanpa henti dari darah.
"Kau Dito!" Dengan begitu, sang ibu meninggalkan putrinya terpaku, menatap refleksi mengerikan dari penampilannya yang baru.
Saat wanita itu pergi, membawa serta kunci kamar mandi, Dita akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Tangis kepedihan mengalir deras di pipi, bentuk pelampiasan sakit hati.
Ia mengutuk ibunya dengan segala obsesi tidak masuk akal tentang anak laki-laki, saudara kembarnya yang sudah mati.
***
Irama "Fire" dari BTS mengalun merdu memenuhi halaman belakang gedung tidak terpakai itu, menggerakkan otomatis tubuh luwes Dita di setiap dentum lagu. Gadis itu menyalurkan perasaan stressnya yang sudah mengusik dan memberatkan kalbu.
"Tarian yang bagus!" Suara asing berimbas pada badan yang seketika membatu. Ia berbalik cepat tanpa ragu, siap memaki siapa saja yang mengganggu. Namun manik biru seindah lautan yang menatapnya balik membuatnya terpaku.
"Oh, kau perempuan ternyata," ucap orang itu saat melihat dada Dita yang menonjol. "Maaf, aku tidak tahu karena pakaian dan rambutmu dari belakang itu menipu." Gelak manis darinya muncul, berefek pada jantung Dita yang berdetak tidak terkontrol.
"Oh, ya! Perkenalkan, aku Aruna!"
***
Siapa yang dapat memahami bahasa hati? Bukan Dita yang pasti.
Sudah tepat satu bulan ia bersama Aruna, sosok baru yang memberi warna baru dalam hidupnya, orang yang dapat dijadikan tempat aduan dan sandaran atas kejam dunia, penopang dan penyemangat saat ia hampir menyerah. Satu-satunya manusia pengertian yang tidak mencaci Dita dengan penampilan pria, paksaan ibunya. Menerima dengan apa yang ada.
Kini mereka sama-sama bersandar pada pohon di bukit belakang sebuah sekolah, menikmati setiap hilir angin sejuk yang menerpa. 'Sudah waktunya,' tekad Dita dalam dada.
"Aruna, ada yang ingin aku bicarakan."
Coklat beradu pandang dengan biru. "Ya?"
Debar bertempo super cepat menyesakkan rongga dada. Mulut tiba-tiba kering seolah tanpa saliva. Keringat dingin mengucur tanpa permisi membasahi kaosnya.
"Aku mencintaimu."
Senyum Aruna hilang. Binar ceria di mata sekejap sirna. "Kita berdua perempuan, Dita."
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar