Pages

I Need U

Sabtu, 03 Juni 2017

Tangan putih pria itu membalik tiap halaman koran, mencari berita yang sekiranya menarik perhatian. Tiba-tiba terdengar denting gelas dari depan, lalu saat ia mendongak tatapannya berubah mematikan.
"Ini kopi untukmu, Oppa." Haneul membungkuk dengan susah payah, perut besar menyulitkan pergerakannya.
"Siapa yang menyuruhmu, huh? Jangan buatkan lagi," tandas Suga langsung. Setelah beberapa detik memberikan tatapan sarat ancaman, ia kembali menekuri lembar-lembar informasi di genggaman.
"Ah, maaf." Haneul menunduk dalam, tangan mengelus kandungan. Usaha baiknya tidak dihiraukan, sengatan tajam di hati berimbas pada mata yang mulai kemerahan.
***
"Oppa, bisa kau buatkan aku semangkuk bubur?" hati-hati perempuan bermata coklat tersebut meminta, berharap kali ini saja sang suami memenuhi permintaannya.
Namun ekspresi laki-laki itu menggelap. "Tidak."
"Tolong, kali ini saja. Aku janji tidak akan me—"
"Kubilang tidak! Kau pesan di restoran saja. Jangan memerintahku." Bentakan kasar seperti itu sudah ia terima setiap hari, tapi tetap saja retak kian menganga di hati.

Haneul membalikkan badan hati-hati, berusaha agar Suga terpunggungi, karena ia tidak mau pria itu tahu bahwa bukti kesedihannya mengalir di pipi. "Maaf, Oppa."
Bukan salah Suga jika cintanya tidak terbalaskan, ia juga tidak bisa melimpahkan tanggung jawab pada hatinya yang terus menggemakan sayang, bukan? Pernikahan ini merupakan hasil perjodohan, tidak heran pria itu menjalaninya dengan paksaan.
***
Lagu ulang tahun ia nyanyikan, penuh keyakinan. Tiap nada yang ia ambil disertai ketulusan. Namun mungkin suaranya saja yang membosankan, atau memang Suga tidak pernah punya minat mendengarkan, pria itu malah sibuk menatap ponsel di tangan.
"Saranghaeyo, Oppa!" ucapnya lirih setelah lagu terselesaikan, diakhiri oleh jantung yang berdebaran. Suga membatu, tidak tergoyahkan.
Wanita yang tengah hamil sembilan bulan itu menghela napas, menyiapkan hatinya atas apapun nanti yang berimbas. "Oppa, aku tahu kita berdua awalnya tidak mau menjalani semua ini."
"Tapi aku mohon ... dengan amat sangat, bisakah kita seperti suami istri pada umumnya? Setidaknya sampai bayi ini lahir. Setelah itu kau boleh ... kau—" ujarannya terhenti. Tangis yang ia tahan membuat mata pedih. Napas pun setengah terputus menanggung sesak di hati. "Kau boleh menceraikanku," lanjut Haneul, wajahnya terangkat bersama senyum palsu yang terpampang perih.
Raut Suga tidak tergambarkan, bukan melontarkan cacian, ia tanpa diduga berdiri kemudian menderap pergi dengan hentakan yang berlebihan. Haneul bangkit mengikuti, langkahnya tertatih berusaha menggapai lengan, bahkan saat pria tersebut menaiki tangga tanpa menghiraukan.
"Tunggu!" Berhasil!
Namun selanjutnya tangan putih itu menepis kasar raihan di kemeja kerja, terlalu kasar hingga tubuh ibu muda tersebut tidak dapat menjaga keseimbangannya.
Dan saat Suga membalikkan badan, Haneul telah menggelepar tidak berdaya dalam darah yang berkubang.
***
Nyanyian merdu seorang wanita mengisi pagi, mengalun indah bagai nada-nada surgawi. Senyum Suga terbit di luar kendali.
"Saranghaeyo, Oppa!" Kalimat favoritnya bergema-gema di kalbu.
Dan setelah itu rekaman tersebut terhenti. Meninggalkan kesunyian yang menggantung di antara dinding-dinding putih.
Lagi, hari dengan gemuruh penyesalan di hati. Bibir pria itu belum sempat mengucapkan: "Bagaimana jika kau tersandung saat mengantarkan kopi padaku?", "Bagaimana jika aku tidak sengaja meracunimu dengan bubur payahku?", "Bagaimana kau bisa meminta cerai setelah mengucapkan cinta, huh?", ataupun ...  "Nado saranghaeyo."
Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS