Aku memang tidak pantas menjadi penulis. Mimpi kecil itu terlalu jauh dicapai walau aku telah merangkak pada jalan penuh kaca yang membuat seluruh tubuh teriris.
.
Terima kasih sudah mengingatkanku ..., Ibu.
***
Satu demi satu receh kuhitung teliti. Hanya beberapa keping koin dan satu lembar seribuan lusuh kali ini. Mungkin hanya bisa ke warnet beberapa menit dan sebungkus roti? Namun ... bagaimana dengan Nani?
.
Ah, sudahlah.
.
Aku beranjak berdiri. Menepuk sedikit bagian belakang celana rombeng yang tertempel debu sana sini, kaki lalu melangkah mantap ke arah warung kopi.
.
"Hey, jangan pergi lu!"
.
Gawat!
.
Lari!
.
"Eits!" Terlambat. Ujung kaos telah dicengkram kuat.
.
"Lepas!"
.
Meronta. Memukul walau hanya mengenai udara. Menendang-nendang meski kerikil yang malah membuatku berdarah.
.
.
Terima kasih sudah mengingatkanku ..., Ibu.
***
Satu demi satu receh kuhitung teliti. Hanya beberapa keping koin dan satu lembar seribuan lusuh kali ini. Mungkin hanya bisa ke warnet beberapa menit dan sebungkus roti? Namun ... bagaimana dengan Nani?
.
Ah, sudahlah.
.
Aku beranjak berdiri. Menepuk sedikit bagian belakang celana rombeng yang tertempel debu sana sini, kaki lalu melangkah mantap ke arah warung kopi.
.
"Hey, jangan pergi lu!"
.
Gawat!
.
Lari!
.
"Eits!" Terlambat. Ujung kaos telah dicengkram kuat.
.
"Lepas!"
.
Meronta. Memukul walau hanya mengenai udara. Menendang-nendang meski kerikil yang malah membuatku berdarah.
.
"Diem! Siapa bilang bocah kayak lu boleh ngamen di daerah kekuasaan kita, hah?!" Wajah yang hitam busuk itu menyeringai tepat di depan. Gigi kuning tidak rata dan napas bau tersebut membuatku ingin muntah, harus kutahan. Raut tidak senonohnya menular ke salah satu temannya. "Cepet kasih duit lu!"
.
"Nggak!"
.
Melawan memang berbahaya.
.
"Punya tangan sama kaki sendiri kok minta-minta sama anak kecil?"
.
Keras kepala juga keputusan yang salah.
.
"Nggak malu apa mau ngerampok bocah yang bahkan satu tangannya nggak ada, hah?"
.
Tapi aku terpaksa.
.
"Dasar!"
.
Dua remaja begajulan itu murka.
.
"Heh?! Apa lu bilang?! Sini!"
.
Aku diseret keji. "Tolong!"
.
Semua orang menoleh dengan pandangan simpati. Kepalsuan yang terpampang tanpa tindakan berarti. Aku benci ini!
.
"Tolong!"
.
"Sana!"
.
Badan terhempas tanpa belas kasihan, kepala terantuk beradu dengan tembok bambu yang paku-pakunya mencuat dan karatan.
.
Pedih.
.
Berdarah.
.
Namun aku tidak ingin terlihat lemah!
.
Bangkit, tapi langsung rubuh saat kaki besar mereka terayun menuju perut.
.
Berdiri lagi. Detik selanjutnya jatuh karena bogeman di ulu hati.
.
Bangun walau raga remuk atas keradangan mereka.
.
"Siniin tuh duit!" Kemasan permen yang dari tadi kugenggam bahkan dengan jiwa kini dirampas.
.
Tidak!
.
"Arggh!" Laki-laki kurang ajar itu menjerit kesakitan. Belum akan kulepaskan gigitan pada tangannya sebelum bungkusanku dikembalikan. Beberapa kerjap kemudian dia melemparkannya ke jalanan, uangku yang tidak seberapa keluar berhamburan. Segera kutangkup semuanya tanpa sungkan.
.
"Sial!"
.
Buagh!
.
Tendangan terakhir pada kepala sebelum pergi. Derap marah mereka yang menjauh membuat rasa lega membanjiri.
.
Aku? Sedang bergelung di atas rerumputan kering, keringat, dan darah, melindungi receh dan kertas lusuh yang begitu berharga.
.
Terlihat rapuh? Benar. Setidaknya, aku belum hancur.
***
"Nani!"
.
"Iya, Kak!" Suara menggemaskan itu berasal dari samping gubuk kami. Tapaknya perlahan mendekati. Setelah itu, manik coklat juling yang tetap saja kuanggap lucu muncul, dan langsung berbinar kala roti coklat yang kubeli terayun-ayun menggoda di hadapannya kini.
.
"Wah, coklat!" Ia menyambar, merobek bungkus dengan tidak sabar. Namun gerak terhenti beberapa senti sebelum makanan manis tersebut masuk ke dalam mulut yang jelas terlihat lapar.
.
"Kakak sudah makan?"
.
"Sudah. Kenyang pula." Perutku tidak setuju dengan kebohongan itu.
.
Lihatlah, sekarang dia melahapnya dengan rakus karena memang kami belum mengonsumsi apapun sejak nasi aking tadi malam.
.
Bahagianya melihat adikku setidaknya dapat mengganjal perut.
.
Lembar seribuan terakhir tergenggam penuh tekad di sakuku.
***
A.
.
K.
.
U.
.
Aduh, kalau mengetik sepelan ini kapan ceritaku akan jadi?
.
Iya, aku memang tidak bisa menulis. Setidaknya, kemampuan membaca tidak terlalu miris.
.
Mengetik tidak akan sesulit merangkai kata dengan pensil, bukan? Tinggal tekan.
.
Semangat, Septi!
.
Uang yang kutabung seminggu ini setidaknya cukup untuk menyewa komputer selama 2 jam. Namun ... sejak tiga puluh menit lalu mengapa hanya dua belas kata yang sudah tertera pada layar kaca di depan?
.
Apa aku terlalu menghabiskan waktu dengan mencari dimana letak Mikro ... apapun itu dalam benda ini?
.
Sudahlah, teruskan saja! Demi mimp--
.
Plak!
.
"Enak ya?! Bukannya ngamen di jalan kayak biasanya, lu nangkring nge-game di sini, hah?! Inget adik idiot lu yang gue tampung di kandang ayam!"
.
Sakit, Bu.
***
Dalam sehari ini aku sudah digeret dua kali. Kali ini oleh ibuku sendiri.
.
Brugh!
.
Terbanting keras di atas lantai yang sudah pecah-pecah membuat lukaku yang sudah dibersihkan dan ditutup seadanya kini kembali terbuka. Mengaduh ataupun merintih percuma. Hanya akan memperpanjang alasannya untuk merasa senang kala menyiksa.
.
"Heh!"
.
Kepalaku terinjak.
.
"Udah buntung, tuli juga lu!? Jawab!"
.
Bugh!
.
Aku diam.
.
Bugh!
.
Tanpa kata, dari sela-sela bibir termuntahkan darah.
.
"Dasar anak nggak guna! Percuma ngelahirin kalian dari benih keparat! Mati aja sana!"
.
Bugh!
.
Sisi raga disepak kejam, membuatku terbaring telentang. Dia murka. Namun matanya menyimpan air mata.
.
Mendadak dia luruh. Kristal mengalir dari mata coklatnya yang teduh. "Maaf."
.
Tangisnya histeris. Sarat luka dan pedih yang dipendam dalam reruntuhan hati penuh luka iris.
.
"Maaf."
.
Ibu ....
.
Lamat-lamat aku mendekat, satu-satunya tangan yang masih menggenggam flashdisk bekas yang kutemukan di jalan berusaha mengelusnya nekat. Namun belum sempat menyentuh pundak yang tertutup daster penuh bercak cat, genggaman kuatnya di pergelangan tangan membuatku tercekat.
.
"Apa ini?"
.
Dia merebut kotak putih penyimpan ceritaku.
.
"Mau apa lu sama ini?"
.
Membisu.
.
"Jawab!"
.
"A-aku ingin jadi ... penulis."
.
Satu. Dua. Tiga. Bahaknya pecah membahana. Telunjuknya mengarah padaku seolah menuduh bocah kecil telah berlumuran dosa.
.
"Nggak usah mimpi! Nulis nama panggilan lu aja nggak bisa, lagak mau jadi penulis!"
.
Tawanya lebar.
.
Lebih puas.
.
Makin menghina.
.
Sesak. Walaupun aku tahu itu fakta yang tidak dapat ditolak.
.
"Sana pergi ngamen! Nggak usah buang-buang waktu sama tenaga buat kegiatan nggak ada harapan!"
.
Prak!
.
Kotak berlabel penyimpan data tersebut pecah menghantam tembok dan hancur. Lebur.
.
"Tidak!"
.
"Apa?! Berani lu lawan gue sekarang?!"
.
Semua kerja kerasku ... hilang sudah.
.
Tiap detik rasa lapar karena uang jatah makanku sia-sia.
.
"Tidak!"
.
"Oh! Oke! Lu bakal gue kasih pelajaran!"
.
Sakit hati dari pandangan-pandangan hina yang semua orang tujukan entah kenapa langsung meluap.
.
Muak akan raut simpati palsu segera menggelak.
.
Aku terlalu tenggelam dalam perasaan negatif yang tiba-tiba mendidih dalam hati dan kepala, hingga tanpa sadar, wanita yang telah melahirkanku sampai di hadapan dengan segayung air panas di tangannya.
.
Apa yang mau dilakukannya?!
.
"Wajah rusak tambah tangan buntung mungkin bakalan lebih bisa dikasihani kalau lu ngamen. Haha!"
.
Memang benar apa yang dikatakan tetangga, dia gila!
.
Jleb!
.
"Aargh!"
.
Byur!
.
"Kakak!"
.
Aku terpaku.
.
Syok.
.
Ap-apa yang terjadi?
.
Dada berdebar tidak karuan. Keringat dingin meluncur deras tanpa halangan. Napas sesak keluar masuk tanpa karuan.
.
Satu-satunya yang dapat kulihat hanya tubuh perempuan dewasa tidak bernyawa, Nani dengan pisau penuh darah, senyuman tanpa dosa ... dan kilat keji di juling matanya.
.
"Kakak tidak apa-apa?"
.
Bisakah ... aku hancur sekarang?
.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar