Gemuruh guntur menggelegar, petir-petir menyambar, dan tubuh mungil itu makin bergetar. Dalam kecekaman malam dia sendirian dalam sebuah kamar. Teriakan itu kembali terdengar.
.
"Ibu!" cicitnya lemah.
.
Ia makin ketakutan. Tangannya terangkat ke mulut membuat kebungkaman. Mata ambernya yang berair mengintip dari lemari tempat persembunyian.
.
Tap! Tap! Tap!
.
Derap langkah itu, berimbas pada jantungnya yang makin berpacu dengan waktu.
.
Lima.
.
Empat.
.
Tiga.
.
Dua.
.
Satu.
.
Si penjahat telah tepat berada di balik pintu.
Cklek!
.
Deritnya terasa memekakkan telinga. Langkah demi langkah si Penjahat seolah mendekatkannya pada alam baka.
.
"Aku tahu kau di sini, Bocah! Keluar!"
.
Bungkaman mulutnya mengerat. Leher tercekik seolah terjerat. Tubuh mungil itu bersidekap makin merapat. Namun kertak lemari rupanya berkhianat.
.
Jder!
.
"Boo!"
.
Bumi bergoncang pada guntur dan lolongan anak itu. "Tolong!"
.
Tanpa kelembutan ditariknya rambut halus sewarna tembaga tersebut. Si Bocah kecil berteriak kesakitan saat surainya terjenggut, ia diseret paksa menuju ranjang, tempat di mana ia direncanakan menjeput maut.
.
Bruk!
.
"Tolong!"
.
"Diamlah! Atau kau lebih memilih kematian yang menyakitkan."
.
Anak itu telentang tak berdaya. Isakan-isakan pedih keluar dari mulutnya. Hanya satu yang dipinta, selamatkan dia.
.
Pistol itu pelan tapi pasti mengarah ke dahi. Si Penjahat menyeringai tanpa belas kasih.
.
Selanjutnya, pelatuk ditarik oleh jari.
.
Dor!
.
Tubuh itu jatuh, menghantam lantai penuh debu. Darah mengucur dari kepalanya yang tertembus peluru.
.
"Jangan tutup matamu, Nak. Tidak usah takut."
.
Pandangan netranya seketika terbuka. Di hadapan berdiri kokoh seorang pria. Tercengang. Ia duduk dengan tegang.
.
Dia baru saja... diselamatkan?
.
Orang asing itu membungkuk, mendekatkan wajahnya ke anak yang sedang meringkuk. Seketika terlihat cahaya langit yang mengamuk.
.
"Halo, Scorpio."
.
Ia melihat topeng hitam menutup wajah orang itu. Dan apa benar ... bahwa baru saja kilau merah tua bersinar di mata hitam tersebut, atau dia keliru?
.
Sirine polisi terdengar dari kejauhan. Segera maniknya mengalihkan pandangan. Benar, terpampang di jendela cahaya merah biru itu datang. Namun saat ia kembali menghadap depan, pria itu telah menghilang.
***
10 tahun kemudian.
.
"Besok Anda mempunyai jadwal untuk penandatanganan kontrak kerja sama dengan Pak Rudik jam sembilan—"
.
"Batalkan. Besok aku ingin beristirahat hingga tengah hari."
.
Roni mengangguk kaku. "Baiklah, akan saya atur ulang. Selanjutnya, perusahaan minyak yang semula adalah properti negara sekarang telah resmi menjadi milik Anda, Pak. Sesuai perjanjian."
.
Dengusan geli keluar begitu saja. "Dasar pejabat busuk, jika uang di depan mata saja mereka cepat bertindak," cibir Erwin seraya membalikkan koran di tangannya. "Apa lagi?"
.
Untuk sesaat ekpresi dingin Roni menyurut, "Paman Anda ...." Kesuraman segera merambati udara dan membuat pemuda itu mengerut takut.
.
"Dia meminta suntikan dana lagi?" Bahkan tanpa jawaban Erwin sudah menebaknya tepat. "Lakukan ekspansi," lanjutnya, masih dengan kemuraman yang menempel pada setiap jengkal tempat.
.
"Tapi hal tersebut malah akan membuat kebangkrutan—"
.
"Lakukan saja!" Tanpa banyak bicara Roni segera mencatat itu pada kertas di papan dada yang ada didekapnya.
.
Menetralkan wajahnya, melodi monoton Erwin yang luar biasa dingin kembali bernada. "Roni, buatkan aku janji dengan presiden besok jam empat sore."
.
"Tapi, Pak, mengingat bahwa presiden kini sibuk dengan urusan—"
.
"Pemimpin korup itu tidak akan menolak, kupastikan." Sinar ambisi bercahaya dari mata ambernya yang indah dan bulat, tapi juga dapat membuat ngeri para aparat. "Hegemoni sudah kujalankan dengan sangat ahli, Roni. Rakyat tunduk pada pemerintah, dan sayangnya pemerintah tunduk padaku. Di sini, aku yang memegang kendali." Roni harus menahan napas saa seringai jahat terlihat.
.
"Aku yang berkuasa," ulangnya. Kekejaman sempat terlintas di wajah.
***
"Bajingan! Lepaskan aku!"
.
Bahak malah membahana di ruangan. "Tidak akan, Erwin. Lucu sekali kau masuk jebakanku. Makan malam dengan keluarga tidak akan ada jika kau juga bergabung, kau harusnya tahu."
.
Pria setengah baya berbadan tambun menatapnya congak. Melangkah, tangan berlemaknya memukul telak. "Sial!" umpatan lolos dari bibir terkoyak.
.
"Sekarang kau mau apa, hah? Akui saja kau tidak berdaya." Pria itu kembali tergelak.
.
"Sepuluh tahun lalu, perampok itu membuat kesalahan dengan tidak membunuhmu, padahal aku sudah membayarnya dengan seluruh uangku!"
.
Tarikan napas yang tajam terdengar. "Sudah kuduga.
.
Seperti yang disangka. Namun tetap saja, amarah menggelak dari ujung kaki hingga kepala.
"Keparat kau! Kenapa?!"
.
Plak!
.
"Jaga omonganmu, Bocah." Sesaat pria di hadapannya menyingsingkan lengan, dari mulutnya keluar ludah menjijikan. "Cih, tentu saja karena harta warisan. Kakekmu dulu membaginya secara tidak merata, kau tahu? Ditambah sifat kurang ajarmu! Dan sekarang kau malah mau menjegal perusahaanku?!' Terbawa emosi, pistol kini sudah ada di tangan.
.
"Tapi terima kasih, karena otak cerdasmu kini perusahaan keluarga malah berada di puncak bursa, artinya makin banyak uang yang ada." Lagi dan lagi, ia tertawa, seolah kemenangan telah berpihak di posisinya berada.
.
"Hanya tinggal satu langkah dan takdir menyedihkanku akan berubah," seringainya terlihat, "Ada kata-kata terakhir, Erwin?"
.
Amber itu menatap tajam penuh kemarahan, sekarang ia bukanlah bocah yang ketakutan. Dan selanjutnya, kata yang keluar dari mulutnya sarat ancaman. "Kau akan mati, aku pastikan."
.
Dor!
.
Dua kalinya ia terselamatkan.
.
"Kau tak mau membalas budi, Scorpio?" Langkah berwibawa itu mengalun, dengan perlahan siluet hitam itu menampakan wujud.
.
Jantung Erwin masih berdebar. Namun pandanganya puas menatap mayat pamannya yang terkapar, mata hitam yang sedetik lalu menatapnya pongah, kini hampa. Rasakan itu, Pak Tua! Lalu ia mendongak, merasakan bahwa sosok itu seperti familiar.
.
"Siapa—" Saat ia lihat kilau merah tua di mata hitam itu lagi, ingatannya kembali memutar ulang memori. "Aku tahu kau. Kejadian itu tidak akan kulupakan."
.
"Senang bertemu denganmu lagi. Ah iya, omong-omong, apa kau tidak ingin membalas budi?"
.
"Sebenarnya aku tidak meminta bantuan. Tapi tenang saja, aku tidak suka berhutang. Apa maumu?"
.
Entah itu perasaannya, atau memang senyum jahat terukir di bibirnya?
.
"Sepertinya dua nyawa cukup untuk membuatmu bergabung denganku, bukan begitu?"
.
"Apa maksudmu?"
.
Sekarang ia yakin, itu memang seringai.
.
"The Zodiac, Scorpio. Jadilah sekutuku."
.
Tik!
.
Tamat.
#Newbie_beraksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar