Pages

Sacrifice

Jumat, 30 Desember 2016

Ugh, gue kagak tau kalau nyimpen cerita beginian, cerita lama yang semula tak kuketahui keberadaannya :') Yodahlah, post aja.
Warning! Bacanya pelan-pelan, resapi, lalu pahami.
.
Judul: Sacrifice
Oleh: Adelia P.S
Pemuda berambut cepak itu menatap garang ke arah ibunya, tak lupa juga kata-kata pedas yang mengalir deras dengan lancarnya, tanpa henti. Tito tak lagi memperdulikan wajah sendu yang berlinang air mata dari perempuan yang telah melahirkannya, membesarkannya dan merawatnya dari kecil.
“Aku sudah muak, Bu. Hidup kita selalu kekurangan!” bentak pemuda itu kasar, beberapa perabotan rumah tangga pun tak luput dari kemarahannya. Tak tahukah ia, bahwa hati wanita di hadapannya itu terasa perih? Minah tak menyangka, anak semata wayangnya yang ia besarkan penuh kasih sayang berani membentaknya, apalagi memarahinya.


“Ya ampun, Nak. Ingat kalau Tuhan ak—”
“Sudahlah!” Tito menyela ucapan ibunya. Ia kemudian menjinjing tas besar yang telah ia siapkan dari kemarin. Tubuh gempal itu berlalu, meninggalkan seorang wanita paruh baya yang terus menjeritkan namanya.
Brak!
Pintu kayu yang sudah lapuk dimakan rayap itu terbanting dengan keras. Anak durhaka itu sudah pergi meninggalkan ibunya seorang diri, hanya demi segepok uang yang belum tentu ia dapatkan.
“Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa anak hamba. Tunjukanlah jalan yang lurus, jauhkan ia dari kesesatan. Sesungguhnya, hanya Engkau Yang Maha Pengampun lagi Pemurah. Amin,” doa wanita bernama Minah itu penuh harap, tak lupa juga derai air mata yang tak henti-hentinya mengalir sebagai pengantar kepergian anaknya. Hati wanita itu terkikis oleh kesakitan, lalu hancur secara perlahan.
Seminggu berlalu, tak ada kabar apapun dari Tito. Minah kini terpuruk, semakin hari kesehatannya kian memburuk. Tubuhnya semakin kurus dan pipinya makin tirus, tanda bahwa ia jarang makan semenjak kejadian itu.
Duduk di teras sembari menerawang jauh, berharap siluet hitam anaknya akan muncul dari kejauhan dan menghampirinya, hanya itu kegiatan sehari-harinya. “Apakah Tito baik-baik saja?’ kata itu terus terucap dari bibirnya. Rasa kecewa dan marah bercampur menjadi satu dalam hatinya, namun kasih sayang dan kerinduan mengalahkan segalanya. Cintanya terlalu kuat untuk dijadikan rasa benci. Bahkan, ia lebih mengkhawatirkan anak yang telah membentaknya daripada kesehatan tubuhnya.
Air mata sesekali mengalir, membuat para tetangga merasa iba, tak jarang tetangganya itu menghibur dan membawakan serantang makanan untuknya, namun semua hal itu tak berpengaruh jauh terhadap keadaan dan perasaan Minah. Wanita itu masih setia menunggu kepulangan anakanya, entah sampai kapan akhirnya.
“Bu Minah, ada telepon!” Minah segera bangkit dari dipan yang ia duduki. Ia bertanya-tanya, apakah itu dari anaknya?
“Apakah itu dari anakku?’ Tanya Minah penuh harap. Namun, Anis menggelengkan kepalanya, membuat wajah Minah yang cerah kembali redup. Meskipun kecewa, ia tetap menerima telepon genggam yang disodorkan tetangganya.
Ditempelkannya telepon itu ke telinga kanannya. “Halo,” ucap Minah sebagai pembukaan. Wajahnya berubah serius kala orang yang meneleponnya itu berbicara sesuatu yang sangat penting.
Wajah sayu Minah memucat, bibirnya bergetar, air mata kembali mendesak keluar. Penuturan dari si penelepon membuat dadanya sesak, seolah-olah oksigen terenggut paksa dari paru-parunya . Lututnya lemas membuat tubuhnya jatuh terjerembab mencium tanah. “ Tito kecelakaan!” raungnya putus asa.
Brugh!
Pertahanan wanita itu roboh. Ia pingsan seketika.
***
“ Kasihan sekali dia,” gumam salah seorang warga penuh keprihatinan, Dion. Pemuda itu memandang sedih  seseorang yang sedari tadi  meraung-raung sedih di atas gundukan tanah , orang itu memeluk sebuah batu nisan yang tertancap dalam di makam tersebut.
“Itu karma untuk anak yang durhaka kepada ibunya,” timpal seseorang yang berada di sebelah Dion. “Seminggu setelah dia pergi, orang itu mengalami kecelakaan di tempat kerjanya. Keadaannya kritis, hingga pankreasnya pecah. Ibunya menjual rumah satu-satunya hanya untuk membiayai operasi anak itu, bahkan pankreasnya juga di donorkan,” lanjutnya sembari menghela napas panjang.
“Lalu apa yang terjadi?”
“Keadaan ibunya saat itu sedang lemah, tapi ibu itu terus memaksa. Pemuda itu selamat, tapi ibunya tidak. Sekarang, orang itu menjadi gila dan tidak ada siapapun yang mau memperhatikannya. Harta dan keluarganya habis tak tersisa.
“Ibu, kembalilah hidup! Aku berjanji akan menuruti semua keinginanmu. Aku berjanji tidak membentakmu lagi. Aku tak akan marah jika kita miskin. Tapi … kumohon kembalilah! Tito janji, Bu!” Tito menjerit histeris di pemakaman itu, tak memperdulikan tatapan dari orang-orang yang lewat. Pakaiannya yang compang-camping sekaligus lusuh mendapatkan berbagai gunjingan tidak mengenakkan dari para tetangganya. Ia tak punya tempat tinggal. Dan kewarasan pemuda itu telah hilang.
Arwah Minah menatap sedih ke arah anaknya. Ingin sekali ia mengusap lembut rambut anaknya itu, menenangkan Tito. Namun apalah daya jika ia sudah tak bisa melakukannya. Ia dan anaknya telah berbeda alam.
Semula, Minah berharap semua tidak akan menjadi seperti ini, tapi Tuhan berkehendak lain.
Arwah wanita itu menatap cahaya putih yang berpendar di atasnya, lalu mengalihkan perhatiannya ke arah anaknya, Tito. Hatinya terasa perih melihat pemuda itu, lebih sakit saat Tito meninggalkannya dulu. Namun kini, dialah yang harus meninggalkan Tito … untuk selamanya.
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS