"Bencilah aku!"
***
Kerlip ceria lampu bianglala terlihat di kejauhan, sungguh indah dalam pandangan, juga sakit menikam. Pria di sebelahku melihatnya dengan mata menerawang, atensinya beralih kemudian. "Rain, itu wahana terakhir kita, kan?" tanyanya dengan senyum perih terpampang. Sedangkan aku hanya berjalan, berusaha menghindari tatapan matanya yang sekelam arang.
.
"Cepatlah, bodoh!"
***
Bianglala setinggi 100 meter tersebut menjulang, berdiri kokoh dengan langit malam sebagai latar belakang. "Silahkan, Tuan dan Nyonya," petugas beraut ramah itu menggumam.
.
Surya naik terlebih dahulu, saat aku ingin mengikuti tindakan itu, tangannya terjulur padaku. "Hati-hati," ujarnya lengkap dengan lengkung bibir dan mata teduh.
.
Ingin hati meraih, tapi akal menghalangi. "Tidak! Minggir!" Kelembutan Surya kutepis kasar, wajahnya mengukir sedih, begitu pun diri sendiri.
.
***
Kerlip ceria lampu bianglala terlihat di kejauhan, sungguh indah dalam pandangan, juga sakit menikam. Pria di sebelahku melihatnya dengan mata menerawang, atensinya beralih kemudian. "Rain, itu wahana terakhir kita, kan?" tanyanya dengan senyum perih terpampang. Sedangkan aku hanya berjalan, berusaha menghindari tatapan matanya yang sekelam arang.
.
"Cepatlah, bodoh!"
***
Bianglala setinggi 100 meter tersebut menjulang, berdiri kokoh dengan langit malam sebagai latar belakang. "Silahkan, Tuan dan Nyonya," petugas beraut ramah itu menggumam.
.
Surya naik terlebih dahulu, saat aku ingin mengikuti tindakan itu, tangannya terjulur padaku. "Hati-hati," ujarnya lengkap dengan lengkung bibir dan mata teduh.
.
Ingin hati meraih, tapi akal menghalangi. "Tidak! Minggir!" Kelembutan Surya kutepis kasar, wajahnya mengukir sedih, begitu pun diri sendiri.
.
Tubuh kuhempaskan duduk dengan tenaga yang berlebihan, membuatku sedikit menahan pekik kesakitan. Surya memilih duduk di samping, aku segera pindah bersama dengan dengus menyebalkan. "Jangan mendekat!"
.
Senyum dan anggukan maklumnya sungguh menyesakkan.
.
Beberapa kerjap kemudian setelah petugas menutup pintu, bianglala bergerak mengejar waktu.
.
"Rain, aku tahu kau--"
.
"Diam!" Aku tidak ingin mendengarnya sekarang. Tiba-tiba raga butuh penopang, kuputuskan bersandar pada kaca di sebelah kanan, lebih memilih memandang gelaran cakrawala hitam daripada maniknya yang kelam.
.
"Tapi, Rain, kau--"
.
"Kubilang diam! Jangan bicara!" Tidak, jangan sekarang. Kalung berbentuk bulir air di leher kugenggam, tanpa berniat melepaskan, sebagai pengingat akan seberapa pengkhianatan yang tengah kulakukan.
.
"Rain ...." Suara merdu Surya makin melemah, pun pertahanan hati yang kubangun susah payah.
.
"Rain ...." Dapat kuraba kerapuhan di nadanya, berimbas pada luka batinku yang juga terus menganga.
.
"Rain, tolong ...." Tenggorokanku tercekik oleh kesedihan. Dalam dada telah menggumpal rasa sakit yang menyebalkan. Tidak! Aku adalah wanita yang dibangun dengan ketegaran!
.
"Rain!" Pundak tercengkram dan diputar paksa menghadapanya, bersitatap langsung dengan manik indah yang kini ... menahan air mata.
.
Dan aku hancur.
.
"Surya!" Pedih mengucur begitu saja. Isakan tetap keluar walaupun bibir sudah kugigit sekuat tenaga hingga berdarah. Kedua tanganku saling menggenggam untuk menahan gemetar yang merajalela. Satu detik berlalu kemudian aku sudah didekapannya.
.
"Benci saja aku! Maka hal ini akan lebih mudah!" Teriakan histeris teredam hangatnya dada Surya.
.
"Maaf, Rain. Maaf. Jika kau mau aku bisa--"
.
"Tidak!"
.
Kami berdua menangis, mengutuk masing-masing takdir yang miris. Berduka atas luka baru dari hati yang teriris. Ironis.
.
"Tidak, Surya. Kau milik sahabatku. Pilihlah setia."
.
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar