Pages

6 Days

Senin, 29 Februari 2016


Judul: 6 Days
.
First day.
12.45
.
Tanpa perasaan tubuh pemuda itu dibanting, tak ayal kepalanya mulai terasa pening. Tidak hanya sampai di sana, badan kekar itu kembali dihempaskan ke tanah. Rintihan pilu terdengar dari bibir merahnya. Ingin melawan, tapi tenaga telah habis tak tersisa, apalagi ditambah dengan berbagai luka di tubuhnya, membuat ia lemas tidak berdaya.
.
Dua mulut dari pria-pria yang menyiksanya kini terbuka lebar, terbahak puas. "Ini akibatnya jika kau menolak!" salah satu dari orang itu menunjuk, tepat di hidungnya yang kembang-kempis kesulitan bernapas.
.
Walaupun harus bersusah payah, pemuda itu tetap mendecih, meremehkan. Berang. Pria-pria tersebut menginjak-injak tubuhnya yang telentang.
.

"Kau sekarat tapi masih bisa menghina kami?!"
.
Perlakuan mereka makin bengis.
.
Brak! Brak!
.
Dobrakan keras terdengar dari balik pintu kayu tebal tempat mereka berada. "Sial!" Panik melanda.
.
Detik selanjutnya pemuda itu mendapat tendangan di dahi, dan langsung tidak sadarkan diri. Tunggang langgang kedua penyiksa tersebut kabur, melompati jendela yang sudah dibuka lebar, tepat saat itu pula pintu terdobrak kencang.
.
"Mako!" Jinny berteriak kalap. Orang-orang di belakang gadis itu segera menyongsong maju, membopong tubuh padat Mako untuk diberi penanganan paling bermutu di kota itu.
***
Second day.
.
Beban berat seperti sengaja ditimpakan di dada, paru-parunya sesak butuh udara. Pemuda berkulit pucat itu sontak terjaga. Putih. Bau obat-obatan tercium tajam. Kerutan tercetak di keningnya, kebingungan.
.
"Kau sadar." Susah payah Mako mengangkat kepala, berusaha melihat siapa yang bersuara. Itu Jinny, kekasihnya, mematung di ambang pintu dengan mata yang berkaca-kaca. Mau tak mau, dia tersenyum, walau harus menahan perih di sudut bibirnya.
.
Badannya berdenyut nyeri saat ia mencoba bangun, tapi tetap saja dirinya berusaha untuk itu. Dan berhasil. Lengannya terbuka perlahan, mengharapkan pelukan. Jinny segera menghambur dalam dekapan, lembut tapi penuh perasaan. "Jangan tinggalkan aku," ujar gadis itu, takut kehilangan.
.
Tidak ada jawaban. Pemuda itu memilih bungkam.
***
Flashback.
.
"Ini yang terakhir kalinya. Kembalilah!"
.
"Tidak akan!" Bugh! Untuk ke sekian kalinya pukulan itu menghantam. Wajah oriental tampannya telah rusak berdarah-darah. Namun Mako masih dalam keputusan asalnya. Menolak.
.
Jarum kecil tiba-tiba menusuk kulit lengan. Ia meringis. Cairan aneh berwarna biru tersebut disuntikkan dalam pembuluh darah. Langsung tersebar di bagian-bagian lainnya.
.
"Itu akan memberikan pelajaran bagimu, Jenius bodoh." sinis seorang pria paruh baya di balik punggungnya, Tuan Zarkov. Mako terbelalak.
.
Deg! Jantungnya seolah direbus dalam dada. Napasnya tersekat, untuk sesaat dia tidak bisa menghirup udara. Tetes demi tetes keringat jatuh sudah dari pelipisnya.
.
"Waktumu hanya 6 hari," bibir pria Rusia di hadapannya melengkung licik, "hajar dia."
.
Kursi Mako terhempas ke belakang, kepala yang terantuk menambah hantaman sakit begitu kuat, apalagi kedua tangannya masih terikat erat, terjepit oleh lantai dan kayu yang menjerat.
.
Lalu dua orang laki-laki menghampiri, siap mengeksekusi.
***
Third day.
.
"Aneh. Kenapa kau sembuh cepat sekali?" Mako melirik sebal, "Memangnya kau tidak senang kekasihmu pulih?" desisnya kesal.
.
Jinny terkikik. "Bukan begitu. Aku hanya berpikir, mungkin saja kau bukan manusia."
.
"Hei, bagaimana bisa kau menyimpulkan seperti itu?!" pemuda itu melolong, matanya melotot tidak terima. Ia mendengus, lalu melangkah cepat meninggalkan rumah sakit.
.
"Bukan tanpa alasan, Mako. Lihat saja, kurang dari sehari, tulang-tulang yang patah dan memar biru sudah lenyap dari tubuhmu, dan sekarang ... kau bahkan berjalan seperti pelari profesional. Para dokter pun beranggapan sama denganku," panjang lebar Jinny menjelaskan, terengah-engah karena sembari mengejar kekasihnya tersebut.
.
Mendadak pemuda itu mematung. Aku tetap manusia, batinnya, hanya saja setiap organ-organku sekarang cepat beregenerasi, terlalu cepat malahan, Jinny.
***
Fourth day.
.
Mako segera bergegas ke kamar mandi. Dengan bertumpu pada wastafel, ia memuntahkan  sesuatu yang mendesak nyeri dalam perutnya. Darah. Wajah yang sejatinya putih kini pasi.
.
Tetes merah di mulut terusap lemah. Waktunya sudah tidak lama.
.
Pyar! Meski tertatih, ia tetap pergi, menghampiri asal suara, kamar adiknya. Dengan khawatir Mako membuka pintu. Dan pemandangan yang ia lihat sungguh membuatnya panik, juga pilu.
.
"Jangan!" Cepat dan cekatan, pemuda itu menendang pecahan kaca yang semula siap mengiris nadi Mei-Lan. Alih-alih berhenti, gadis itu meraih beling lain. "Kubilang jangan!" Mako menepis, kali ini dilanjutkan dengan menyandera kedua tangan adiknya.
.
"Peduli apa kau?! Jangan berlagak palsu di hadapanku!"
.
"Apa yang kau bicarakan?! Aku ini tetap kakakmu!" Napas keduanya terengah. Namun perlahan, laki-laki itu melembut. Cengkramannya pada tangan menjelma jadi rengkuhan, sarat kasih sayang. Isakan terdengar kemudian.
.
"Semua orang meninggalkanku! Awalnya kematian ibu saat melahirkanku, disusul ayah yang kecelakaan. Dan kini ...," Mei berhenti sejenak, "kekasihku berkhianat," tangisnya makin kencang.
.
Mako mengeratkan pelukan. Rambut hitam adiknya ia elus perlahan. Seolah memberitahu jika dirinya masih ada, sedang mendekapnya. Kehangatan dan kenyamanan tersalur tanpa kata. Perlahan tapi pasti, gadis itu mulai tenang, hingga akhirnya tertidur.
.
Pelan-pelan tubuh Mei terangkat, lalu mendarat halus di ranjang tempatnya bersandar sesaat lalu. Walau tidak sedarah, ia tetap menyayangi gadis itu. Setelah membersihkan kaca-kaca yang berhamburan, ia duduk di samping kasur. Tanpa bosan memandangi dan menjaga salah satu wanita favoritnya tersebut.
Untuk sesaat, biarkan Mako lupa pada realita yang berbayang mengancamnya. Kematian.
***
Fifth day.
.
Tawa berderai riang. Saking lucunya hingga gadis itu berguling-guling tak karuan. Segera ia sadar, terduduk, lalu berusaha menahannya. Namun, saat ia kembali melihat wajah cemberut Mako yang bertabur tepung, lagi-lagi gelaknya meledak.
.
"Jangan tertawa! Lebih baik kau bantu aku!"
.
"Baiklah, baiklah." Akhirnya Jinny berdiri, menggulung kemejanya hingga siku, lalu ikut menolong.
.
1 jam kemudian.
.
Desahan nikmat meluncur dari gadis itu. "Kue coklat ini enak sekali!" Mako mengangguk pongah, "Tentu saja, aku yang membuatnya."
.
Jinny mengangkat sebelah alisnya, "Hei, jangam lupa bantuanku!" Mako hanya mengangguk acuh tak acuh, lalu melanjutkan kegiatan makannya.
.
Hening.
.
"Jinny?" Sang wanita hanya berdehem sebagai jawaban. "Maukah kau berjanji?"
.
Gadis itu mengubah posisi, menghadap langsung ke sosok kekasihnya. Sepertinya ini pembahasan serius. "Janji apa?"
.
"Jagalah adikku."
.
"Kenapa harus aku? Bukankah ada kau?" Jujur saja, firasat buruk segera mengungkung hati gadis itu.
.
"Hanya jaga-jaga."
.
Memang, ekspresi Mako bisa dianggap bercanda. Namun Jinny jelas tahu, kilat sedih sempat melintas di mata coklat itu. Membuatnya curiga.
***
Sixth day.
.
11.45
.
"Cepat pergi!"
.
Semua orang berlari terbirit-birit. Teriakan panik menggema riuh hingga langit-langit. Kekhawatiran melanda setiap insan. Tanpa peduli keselamatan orang.
.
"Tolong!" Rintihan itu terdengar samar, tertutupi langkah dan jeritan malang lautan manusia yang berusaha keluar. Namun jelas-jelas, Mako mendengar. Segera ia mendongak. Deg!
.
Dalam ketergesaan ia berlari melawan arus. Berusaha menaiki tangga untuk menyelamatkan bocah kecil yang tergantung di lantai atas. Mungkin terdorong oleh pribadi-pribadi egois yang hanya peduli diri sendiri.
.
Mall itu mulai lengang. Baguslah! Tapi jantungnya sudah bereaksi. Berdetak cepat tanpa kontrol. Tidak, anak itu harus diselamatkan terlebih dahulu.
.
Kaos putihnya sudah banjir keringat saat kaki menginjak anak tangga terakhir lantai tiga. Mako celingukan, hingga akhirnya netra menemukan tangan kecil yang sekuat tenaga tergantung tidak berdaya. Bergegas ia lari, mengulurkan sedikit badan untuk meraih kedua lengan anak tersebut. Dengan tenaga yang hampir tak tersisa, ia menarik tubuh kecil itu. Deg! "Aaa!" Grep! Keadaan semakin parah. Gara-gara jantung sekaratnya, ia hampir saja menjatuhkan sosok polos itu.
.
"Bertahanlah!"
.
Napas mulai berat. Wajah penuh air mata itu membuatnya bertahan. Setidaknya, ia bisa menyelamatkan masa depan panjang anak ini.
.
Berhasil!
.
"Cepat lari!" Anak di pelukannya berdiri, mengangguk, tapi menggenggam tangannya untuk diajak bersama. Mako menggeleng lemah. "Kakak juga harus ikut!"
.
"Pergilah dulu, nanti aku menyusul." Tanpa diduga isakan terdengar. "Tidak!"
.
Senyum setipis kertas nampak di wajah pemuda itu. Dengan segera ia berdiri, walau dengan susah payah. Dengan menggandeng tangan kanan anak keras kepala itu, ia mulai berjalan tertatih. Fokusnya jatuh pada jam di pergelangan tangan. Tersisa dua menit lagi.
.
Jika saja ia tidak ingat ada sosok lain di genggamannya, Mako mungkin  sudah jatuh terguling saking bergetarnya kaki. Tapi usahanya berbuah sukses.
.
Barisan polisi telah bersiaga di kejauhan. Wajah-wajah cemas terpampang di depan. Ada satu wanita paruh baya yang sempat menangis, dan langsung melambai pada anak di sebelahnya. Genggaman terlepas, anak itu berlari ke ibunya.
.
"Mako!" "Kakak!"
.
Jinny dan adiknya ada di sana. Ingin sekali ia berlari. Namun sudah tidak bisa. Deg! Otot-ototnya mulai mengejang. Pening di kepala mendera tidak tertahankan. Inilah waktunya.
.
Uhuk! Darah termuntahakan, berwarna kehitaman. Miris. Inikah karma?
.
12.00
.
Deg! BOOM!
.

Gedung itu meledak. Serpih-serpih besar berhamburan. Tak ayal, bangunan tersebut roboh seketika. Menimpa seonggok mayat pemuda yang jantungnya telah hancur tidak tersisa, akibat serum buatan si Jenius, dirinya sendiri.
.
Mungkin ini karma. Balasan untuk seorang laki-laki yang tanpa sengaja masuk ke dalam kelompok tidak berperasaan, orang-orang menyebutnya "teroris".
.
Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOG TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS