Miss Teryous
Part 9: Her Group
.
Lantai tiga?!
Mereka pasti sudah gila!
"Jangan melotot, kau terlihat seperti orang dungu kalau begitu," ucap gadis itu, masih tanpa ekspresi berarti darinya.
Segera kukerjapkan mataku berkali-kali, tak lupa mengatupkan mulutku yang tanpa sadar menganga. Menurutku wajar saja jika aku terkejut, lantai tiga itu termasuk tinggi jika kau memutuskan untuk melompat langsung, tapi melakukannya sama dengan bunuh diri!
Samar-samar grasak-grusuk terdengar dari bawah sana, lalu rintihan kesakitan menyusul kemudian. Apakah mereka baik-baik saja?
***
Fokus Ryo beralih kepada gadis cantik yang berdiri tenang di samping ranjangnya, manik coklatnya menatap intens, hingga akhirnya menyadari sebuah kejanggalan dan mengerutkan keningnya. "Kau tidak terluka?" tanya pemuda itu heran.
Tery mendengus, lalu menolehkan wajah datarnya. "Kenapa kau pertanyakan hal itu? Sepertinya kau tidak senang jika tubuhku baik-baik saja," ucapnya tajam.
Ryo berdecak, lalu berkata, "bukannya seperti itu, Tery. Seingatku, saat kecelakaan itu kita—" lontaran itu terhenti, Ryo meringis dengan tangan mencengkram kepalanya yang berdenyut nyeri.
"Minum obatmu," meski cenderung terkesan dingin, namun Ryo tahu apabila Tery mencemaskannya, membuat lengkungan tipis terpahat di bibirnya.
Part 9: Her Group
.
Lantai tiga?!
Mereka pasti sudah gila!
"Jangan melotot, kau terlihat seperti orang dungu kalau begitu," ucap gadis itu, masih tanpa ekspresi berarti darinya.
Segera kukerjapkan mataku berkali-kali, tak lupa mengatupkan mulutku yang tanpa sadar menganga. Menurutku wajar saja jika aku terkejut, lantai tiga itu termasuk tinggi jika kau memutuskan untuk melompat langsung, tapi melakukannya sama dengan bunuh diri!
Samar-samar grasak-grusuk terdengar dari bawah sana, lalu rintihan kesakitan menyusul kemudian. Apakah mereka baik-baik saja?
***
Fokus Ryo beralih kepada gadis cantik yang berdiri tenang di samping ranjangnya, manik coklatnya menatap intens, hingga akhirnya menyadari sebuah kejanggalan dan mengerutkan keningnya. "Kau tidak terluka?" tanya pemuda itu heran.
Tery mendengus, lalu menolehkan wajah datarnya. "Kenapa kau pertanyakan hal itu? Sepertinya kau tidak senang jika tubuhku baik-baik saja," ucapnya tajam.
Ryo berdecak, lalu berkata, "bukannya seperti itu, Tery. Seingatku, saat kecelakaan itu kita—" lontaran itu terhenti, Ryo meringis dengan tangan mencengkram kepalanya yang berdenyut nyeri.
"Minum obatmu," meski cenderung terkesan dingin, namun Ryo tahu apabila Tery mencemaskannya, membuat lengkungan tipis terpahat di bibirnya.
Tangannya yang kecoklatan meraup obat di atas nakas tersebut, menelan pil itu bersamaan dengan tegukan airnya. Ryo meringis, "obat macam apa ini?! bahkan rasanya tidak jelas!"
Tak mempedulikan gerutuan pemuda tersebut, Tery segera beranjak keluar. "Turunlah ke bawah jika kau lapar. Aku yakin kau tidak selemah bayi yang tak bisa berjalan sendiri," itulah sarkasnya sebelum menghilang di balik pintu.
Setelah pintu itu tertutup sepenuhnya, Ryo langsung mendengus, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Datar dan dingin seperti biasa. Tapi kurasa ada kemajuan, setidaknya dia mengurangi kadar cueknya terhadapku." Pemuda itu menyunggingkan senyum menawan, tapi beberapa detik kemudian menghela napas lelah.
Ia mengalihkan perhatiannya dari lantai menuju barisan rapat pohon-pohon hijau yang mengelilingi tempat dimana ia tinggali saat ini. Binar coklatnya terlihat sendu. "Entah kapan aku bisa membuat gadis itu menyukaiku, layaknya seperti aku yang mencintainya ... diam-diam."
***
Derit kayu samar-samar terdengar, tampak seorang pemuda yang tertatih-tatih menuruni tangga dengan sekuat tenaga. Nyeri terus menderanya setiap kali menggerakkan tangan dan kakinya, tapi ia tetap berusaha.
Hingga undakan terakhir terpijak, tubuhnya roboh, namun lengan kekar seseorang menahannya agar tidak mencium lantai. "Ck, ternyata kau lebih lemah dari yang kukira."
Ryo berjalan susah payah dengan lengan yang terpapah. Seolah tahu yang ia inginkan, orang itu menuntun menuju tempat tujuannya, dapur. Didudukannya ia di salah satu kursi kosong, lalu tanpa permisi orang itu duduk di sebelahnya, menarik kursinya semakin dekat pada kursi Ryo, terlalu dekat malahan menurut pemuda itu.
"Kau lapar?"
Ryo mengerutkan dahi heran. Bukannya menjawab, dia malah bertanya, "kau tidak apa-apa? Kurasa melompat setinggi bisa membuatmu mati, bahkan akibat paling ringan adalah patah tulang."
Pemuda itu terbahak keras, sedangkan Ryo semakin bingung, pasalnya ia yakin tidak ada satu kata pun yang baru saja ia lontarkan bersifat lucu.
"Tentu saja, aku tidak apa-apa. Mungkin hanya goresan duri-duri kecil di sana-sini, hal itu biasa untukku."
"Tap-"
"Apa kau ingin makan?" pemuda itu lagi-lagi bertanya, acuh tak acuh dengan raut kesal sekaligus bingung Ryo saat perkataanya terpotong. Namun akahirnya, dengan ragu ia menganggguk kecil. Lagipula itulah tujuan awalnya ke sini, mencari makan karena kelaparan.
Orang itu bangkit dari kursinya, kaki panjangnya melangkah menuju kompor yang menganggur di sudut dapur. Ryo tidak tahu secara pasti apa yang dilakukan orang itu, tapi dia melihat jika orang itu mengambil dua butir telur, mungkin dia berencana membuatkannya makanan.
"Bob!! Apa yang kau lakukan kepada persediaan peluruku, hah?!" Ryo sedang asik memperhatikan punggung lebar orang itu—yang entah sedang meracik apa—hingga tiba-tiba suara cempreng itu mengagetkannya. Satu nama langsung terbesit dalam benaknya, Lawina.
Detik selanjutnya, gadis yang sedang ia pikirkan muncul dengan jalannya yang mengehentak-hentak kesal. "Bobby, jawab aku!!" bentak gadis itu diakhiri oleh sebuah geraman geram.
"Kenapa? Aku hanya mengambil bubuk mesiunya untuk eksperimenku," orang itu menjawab dengan santai, tidak berbalik untuk melihat wajah merah Lawina yang semakin memerah marah.
"Seenaknya kau berkata seperti itu!! Apa kau tahu jika aku susah payah mengumpulkan peluru jenis itu?!" gadis itu kalap oleh amarah, diraihnya sebilah pisau buah di meja yang Ryo tempati—masih belum sadar jika pemuda itu ada di sana, melemparnya dengan cepat dan sekuat tenaga ke arah orang itu, dalam kecepatan angin benda itu meluncur, menyerempet sedikit telinga orang itu hingga berdarah. Namun anehnya, orang itu tetap bergeming.
Dituangkannya sebuah telur dadar matag ke atas piring yang sudah disiapkan, masih dengan ketenangannya, berbanding terbalik dengan Lawina yang naik pitam.
Gadis itu menderap maju, meraih kedua bahu orang itu, membalikkannya lalu dengan brutal mengguncangnya. Pemuda itu menepis tangan Lawina, terlihat tidak suka. "Apa masalahmu?! Itu hanya sebuah peluru!!"
"'Hanya' kau bilang? Hei, itu peluru unik dan terbatas?!"
Perdebatan sengit kembali terjadi, namun kali ini, dengan alasan sepele yang lainnya.
Ryo memijit pelipisnya pelan, merasa pusing mendengar umpatan dan bentakan yang dua manusia itu lontarkan pedas. Semoga perdebatan tidak penting ini segera selesai, harap pemuda itu dalam hati.
Dan benar saja, sebuah deheman tak asing lagi-lagi menginterupsi pertengkaran itu. Dengan tatapannya yang dingin dan mengintimidasi,Tery lagi dan lagi berkata, "apa yang kali ini kalian debatkan?" Dua orang itu merinding, namun Ryo malah menatapnya penuh kagum.
Lawina mendengus, berpaling dari intimidasi yang membuatnya gentar, hingga akhirnya matanya membulat saat bertemu pandang dengan Ryo, baru menyadari jika sedari tadi pemuda itu duduk di sana.
"Bubar!" perintah Tery mutlak saat merasa tidak akan ada yang menjawab pertanyaannya.
Malu karena perkelahian kekanakannya dilihat oleh Ryo, dan marah karena perbuatan lancang dari orang yang dipanggilnya "Bobby", akhirnya Lawina meninggalkan dapur dengan muka masih memerah. Tery menyusul kemudian.
"Maaf, ini makananmu." Orang itu meletakkan piring berisi telur dadar tersebut di hadapan Ryo, entah sadar atau tidak jika luka sayat di telinganya meneteskan darah ke taplak putih meja yang akan ia duduki kembali, bahkan hampir mengenai makanan yang sudah dibuatnya.
Ryo sadar dengan darah tersebut, tapi perutnya terlalu lapar untuk memikirkan hal itu.
Sedang asiknya menikmati makanan itu—yang ternyata enak—sebuah pertanyaan yang orang di sampingnya lontarkan membuatnya tersedak." Apa kau menyukai Tery?"
Buru-buru ia meneguk habis air yang sebelumnya ia tuangkan dari teko, kemudian menepuk-nepuk dadanya yang sakit. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?"
"Tatapanmu aneh saat melihatnya. Jawab saja!"
"Memangnya siapa yang tidak akan menyukai gadis cantik seperti dia?" itu bukan jawaban.
"Aku tidak. Kuakui dia cantik, bahkan sangat cantik. Tapi sifatnya itu pasti membuat siapa saja ketakutan."
"Aku tidak. Lalu seperti apa orang yang kau sukai itu? Seperti Lawina? Cih!"
Orang itu memberengut, "tentu saja tidak. Orang aku sukai itu seperti ...."
"Seperti?"
Pemuda yang belum Ryo kenal itu tersenyum malu, lalu tingkahnya berubah kikuk.
"Seperti ... dirimu."
.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar