Miss Teryous
Part 8: Sadarkan (Ryo's POV)
Wing! Wing! Wing!
Baling-baling helikopter itu masih berputar di atas kawasan hutan itu, mengawasi dari ketinggian. Sesosok pria paruh baya dengan tenang menyaksikan setiap rinci kejadian tadi, sorot matanya terlihat dingin namun senyum setipis kertas terlukis di wajahnya. Dengan gerakan angkuh ia menghisap batang rokoknya, menghembuskannya asapnya dengan angkuh pula. "Ternyata kau sudah tumbuh besar ..., Tery."
***
Gelap dan sendirian.
Dimana ini?
Dengan bingung kuedarkan pandanganku ke segala arah, namun percuma saja. Hanya kegelapan mutlak yang bisa kulihat.
Aneh. Hal terakhir yang aku ingat adalah ... kecelakaan itu.
Tiba-tiba saja sakit kepala yang luar biasa menyerangku, dan ini sungguh menyiksa.
"Agh!" rintihku tak tahan. Tubuhku goyah, hingga akhirnya jatuh berlutut di lantai yang dingin ini.
Dem!
Secara mengejutkan sorotan cahaya menimpaku dari atas, membuat kedua mataku silau dan sakit kepala ini menjadi-jadi.
Aku meringis kesakitan, tanpa sadar tanganku bergerak meremas kepalaku sendiri. Keadaan semakin diperparah dengan jantungku yang berdetak tak terkendali.
Astaga, tolong aku!!
"Ryo ...."
Aku kenal suara itu!
Refleks aku mendongak. Sebuah wajah dipertontonkan di hadapanku. Wajah itu ... Tery?! Apa yang terjadi padanya?! Wajah cantik yang diam-diam selalu kulirik saat di kampus kini penuh dengan luka berdarah, namun yang paling menyedihkan adalah derasnya air mata yang mengalir di kedua pipinya.
"Tery! Apa yang—"
"Aku mencintaimu."
Deg!
Aku membeku, dan rasa pusing itu tiba-tiba saja menghilang. Apa maksud perkataanya?
Sosok Tery perlahan memudar, menjauh dan semakin transparan.
Tanpa sadar aku mengejarnya, menjeritkan namanya tanpa henti. Tapi sia-sia. Hal yang terakhir kulihat dari sosok itu adalah senyumnya, senyum paling tulus yang tak pernah kulihat darinya.
"Tery!!"
Part 8: Sadarkan (Ryo's POV)
Wing! Wing! Wing!
Baling-baling helikopter itu masih berputar di atas kawasan hutan itu, mengawasi dari ketinggian. Sesosok pria paruh baya dengan tenang menyaksikan setiap rinci kejadian tadi, sorot matanya terlihat dingin namun senyum setipis kertas terlukis di wajahnya. Dengan gerakan angkuh ia menghisap batang rokoknya, menghembuskannya asapnya dengan angkuh pula. "Ternyata kau sudah tumbuh besar ..., Tery."
***
Gelap dan sendirian.
Dimana ini?
Dengan bingung kuedarkan pandanganku ke segala arah, namun percuma saja. Hanya kegelapan mutlak yang bisa kulihat.
Aneh. Hal terakhir yang aku ingat adalah ... kecelakaan itu.
Tiba-tiba saja sakit kepala yang luar biasa menyerangku, dan ini sungguh menyiksa.
"Agh!" rintihku tak tahan. Tubuhku goyah, hingga akhirnya jatuh berlutut di lantai yang dingin ini.
Dem!
Secara mengejutkan sorotan cahaya menimpaku dari atas, membuat kedua mataku silau dan sakit kepala ini menjadi-jadi.
Aku meringis kesakitan, tanpa sadar tanganku bergerak meremas kepalaku sendiri. Keadaan semakin diperparah dengan jantungku yang berdetak tak terkendali.
Astaga, tolong aku!!
"Ryo ...."
Aku kenal suara itu!
Refleks aku mendongak. Sebuah wajah dipertontonkan di hadapanku. Wajah itu ... Tery?! Apa yang terjadi padanya?! Wajah cantik yang diam-diam selalu kulirik saat di kampus kini penuh dengan luka berdarah, namun yang paling menyedihkan adalah derasnya air mata yang mengalir di kedua pipinya.
"Tery! Apa yang—"
"Aku mencintaimu."
Deg!
Aku membeku, dan rasa pusing itu tiba-tiba saja menghilang. Apa maksud perkataanya?
Sosok Tery perlahan memudar, menjauh dan semakin transparan.
Tanpa sadar aku mengejarnya, menjeritkan namanya tanpa henti. Tapi sia-sia. Hal yang terakhir kulihat dari sosok itu adalah senyumnya, senyum paling tulus yang tak pernah kulihat darinya.
"Tery!!"
***
"Tery!"
Aku terbangun, nafasku memburu, begitu juga dengan jantungku. Astaga, mimpi macam apa itu?!
Kuusap rambut hitamku yang basah oleh keringat, dan baru kusadari jika ada perban yang membalut kepalaku. Segera saja aku memeriksa keadaan sekujur tubuhku, penuh luka gores!
Ini pasti karena ... kecelakaan itu.
Ugh! Rasa pusing yang hebat mendera kepalaku, sama menyiksanya dengan mimpiku.
Cklek!
Eh?
Sesosok gadis yang kukenal berdiri di ambang pintu tersebut, senyumnya merekah lebar di bibir merah yang menyala. "Ryo! Akhirnya kau sadar juga!" pekiknya dengan suara cempreng khasnya.
"Kau?!"
Ia berlari, tak sadar jika ia membawa baskom berisi air yang masih mengepulkan uap. Dan seperti yang kuduga, ia terjatuh. Fiuh! Untung saja airnya tak terciprat padaku.
Aku berdecak, lalu berkata, "dasar ceroboh!" Tak memperdulikan rutukanku ia segera bangkit, lalu tanpa aba-aba ia memelukku dengan super erat.
"Aw! Hey, lepaskan!" Gadis bodoh! Apa ia tak sadar jika aku sedang terluka?!
Perempuan ini segera membebaskanku dari dekapannya, menyengir tanpa rasa bersalah, lalu berkedip-kedip genit sepertivyang biasa ia lakukan. Dan itu sukses membuatku selalu bergidik.
"Ah, Ryo! Aku sangat mengkhawatirkanmu, kau tahu?"
"Cih, aku tak peduli!"
Ia cemberut, namun kuhiraukan saja. Kuedarkan pandanganku ke setiap sudut ruangan ini, hingga akhirnya kerutan dalam muncul di keningku.
"Aku berada di mana?" tanyaku dengan salah satu alis terangkat.
Anehnya, gadis ini malah tersenyum secara misterius, berhasil membuatku tambah penasaran.
"Lawina, jawab pertanyaaku!" Namun ia malah terkikik.
"Eh, tamu kita sudah sadar rupanya!"
Siapa dia?
Seorang pemuda yang kira-kira seumuran denganku menyandarkan tubuh atletisnya ke kusen pintu di hadapanku, dan sialnya—walaupun aku laki-laki—kuakui jika wajahnya sangat tampan. Huh!
Dia melangkahkan kaki lebarnya menuju ranjang yang sedang kutiduri. Hingga akhirnya dia meyadari kekacauan yang disebabkan Lawina.
"Astaga, kecerobohan apa lagi yang kau buat Lawina?!"
"Aku kan tidak sengaja," sanggahnya tanpa sungkan.
Percekcokan tak dapat terhindarkan.
Mereka berdebat, saling menunjuk dan pastinya sangat ribut.
Ugh! Pusing itu malah semakin parah.
Tap! Tap! Tap!
Langkah itu terdengar tenang, namun aura kekuasaannya menyeruak hingga aku dapat merasakannya. Dan sepertinya aku tahu siapa yang akan datang selanjutnya.
Brak!
Pintu kayu itu menjeblak terbuka, menampakkan sosok yang dapat membuatmu gemetar dengan tatapan mengintimidasinya.
Tery.
"Apa yang kalian ributkan kali ini?" tanya gadis itu dengan nada dingin.
Pasangan debat itu terdiam, saling melirik, lalu tak lama kemudian mengangguk.
"Kabur!"
Eh? Mereka berusaha keluar dari kamar ini, bukannya melalui pintu yang dihalangi oleh Tery, malah melompat melalui jendela.
Tery memutar kedua bola matanya malas, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya sembari mendecak sebal.
"Tak kusangka mereka senekat itu. Yang pasti aku tak akan mau merawat mereka jika ada yang patah."
Patah?
"Eh, apa maksudmu dengan kata "patah"?"
Dia melirikku, dan akhirnya menyadari keberadaanku. "Kau tak tahu? Kamar ini berada di lantai tiga."
Apa?!
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar