Miss Teryous
Part 10: Terrors
.
"Seperti ... dirimu."
.
Sontak makanan yang hampir Ryo telan manghambur keluar dari mulutnya. Pemuda itu tersedak, lalu terbatuk-batuk hebat hingga hampir membuatnya mengeluarkan air mata. Orang itu tentu saja terkejut, dengan tangkas tangan besarnya hampir menyentuh punggung Ryo bertujuan mengelusnya. Namun Ryo terlebih dahulu berjengit, bangkit, lalu perlahan menjauh.
.
"Se-seperti aku?" Ryo bertanya meminta keyakinan, walaupun ia tahu apabila pendengarannya tidak salah. Tapi rasionalitasnya menolak kebenaran tersebut.
.
"Benar, aku menyukaimu." Penuh keyakinan orang itu mengangguk.
.
Selesai sudah. Usaha Ryo untuk menstabilkan ekspresinya hancur. Tak terbayangkan seberapa ngeri air mukanya saat ini. Dirinya mengakui, wajahnya tampan dan badannya atletis, tipe idaman para gadis saat ini, hingga ia percaya diri bisa menggaet siapapun gadis yang diinginkannya, tapi dia tak pernah membayangkan bisa membuat pria di hadapannya—yang kadar ketampanannya tidak perlu diragukan—menaruh suka padanya. Menyukai sesama jenis, tidak pernah terlintas di pikirannya. Tidak pernah, hingga saat ini.
Part 10: Terrors
.
"Seperti ... dirimu."
.
Sontak makanan yang hampir Ryo telan manghambur keluar dari mulutnya. Pemuda itu tersedak, lalu terbatuk-batuk hebat hingga hampir membuatnya mengeluarkan air mata. Orang itu tentu saja terkejut, dengan tangkas tangan besarnya hampir menyentuh punggung Ryo bertujuan mengelusnya. Namun Ryo terlebih dahulu berjengit, bangkit, lalu perlahan menjauh.
.
"Se-seperti aku?" Ryo bertanya meminta keyakinan, walaupun ia tahu apabila pendengarannya tidak salah. Tapi rasionalitasnya menolak kebenaran tersebut.
.
"Benar, aku menyukaimu." Penuh keyakinan orang itu mengangguk.
.
Selesai sudah. Usaha Ryo untuk menstabilkan ekspresinya hancur. Tak terbayangkan seberapa ngeri air mukanya saat ini. Dirinya mengakui, wajahnya tampan dan badannya atletis, tipe idaman para gadis saat ini, hingga ia percaya diri bisa menggaet siapapun gadis yang diinginkannya, tapi dia tak pernah membayangkan bisa membuat pria di hadapannya—yang kadar ketampanannya tidak perlu diragukan—menaruh suka padanya. Menyukai sesama jenis, tidak pernah terlintas di pikirannya. Tidak pernah, hingga saat ini.
Perlahan orang itu berdiri. Lalu, melangkah lamat-lamat mendekatinya. Bisa ia rasakan otot-ototnya menegang penuh antisipasi. Dan dalam jarak satu langkah, orang itu berhenti tepat di hadapan tubuh kakunya.
.
"Tapi bagian ironisnya, kau malah menyukai seseorang yang aku yakini akan membunuhmu suatu saat nanti. Sungguh menyedihkan," lafal orang itu, dengan nada prihatin palsu.
.
Aura sekelam malam menguar dari orang itu, meraba-raba tubuhnya dan membuat ia meremang seketika. Pria yang belum dikenalnya ini, jelas-jelas berbahaya. Berbahaya bagi keidupannya, rasa cintanya, dan juga kewarasannya.
.
"Tapi nantikan saja, aku akan mengejarmu. Pasti." Garis bibir orang itu melengkung, bagai lengkungan misteri yang penuh rencana jahat di dalamnya.
.
***
Mega sore mulai menua, lalu beranjak digantikan gelapnya sang malam. Angin dingin menelisik pepohonan, daun-daunnya saling bergesekan bergemerisik menyapa telinga. Mata-mata nokturnal mengawasi dalam diam, mencari makanan, ataupun mangsa. Antara ketenangan hutan yang didamba, dan horror menakutkan yang dihindari.
.
Tery melangkah tenang di antara dinding lorong yang ia lewati, setenang sang bayu yang membuat rambut hitamnya menari-nari indah. Kemudian, jalannya terhenti, tepat di depan sebuah kamar. Kamar Ryo.
.
Lengannya terangkat hendak memegang kenop, namun terhenti di tengah jalan, mengambang di udara. Mendadak keraguan yang jarang melandanya, kini memerangkapnya.
.
Tapi apa yang ia ragukan?
.
Kepala cantiknya menggeleng lambat. Tidak ada yang perlu diragukannya, bukan? Aneh.
.
Gadis itu melanjutkan gerakannya yang tertunda. Kulitnya melingkup gagang besi tersebut, hampir memutarnya ketika pintu itu terbuka oleh orang lain di dalamnya. Ryo.
.
Tery tersentak mundur, menyembunyikan tangannya di balik punggungnya. Kekagetannya segera ia balut dengan wajah datar dan dingin. Akting yang sempurna.
.
Ryo yang awalnya menunduk, kini mengangkat wajahnya."Eh? Apa yang kau lakukan di sini, Tery?" tanyanya dengan senyum yang dipaksakan.
.
Tidak ingin menjawab terlebih dulu, Tery malah balik bertanya. "Mau kemana kau?"
.
"Oh, aku hanya ... tidak bisa tidur," jawab pemuda itu segera, membuang mukanya ke samping.
.
Sebelah alis Tery terangkat, merasa jika jawaban itu kurang meyakinkan. Seandainya Tery tahu, bahkan Ryo tak yakin dengan jawabannya sendiri.
.
Sedikit bergumam, Tery menimpali, "kalau begitu, bagaimana jika kita berjalan-jalan sedikit? Aku akan menjelaskan sesuatu padamu."
.
Mendapat lampu hijau, Ryo segera mengangguk. Manik hitamnya yang semula mengawan kecemasan, kini berbinar senang.
.
"Ayo!"
.
Seperti kebiasaan, Ryo langsung menarik tangan Tery tanpa memedulikan protes sang empu. Kendati bersungut-sungut, gadis itu masih tetap mengikutinya. Tidak tahu menahu apabila sepasang bola mata berbeda warna memandangi sinis ... dan jahat.
.
***
Derak langkah mereka menggema dalam kesunyian gelap hutan. Derik jangkrik mengiringi perjalanan mereka, nyaring dan—menurut Ryo—sedikit romantis.
.
"Mereka mengincarku," aku Tery saat langkah pertama memasuki rimbunan pohon.
.
""Mereka"? Siapa maksudmu?"
.
Sedikit mendengus, Tery menjawab kesal, "tentu saja orang-orang gila yang mengejar kita waktu itu."
.
"Oh! Tapi apa alasannya? Dan siapa mereka?" Ryo masih setia bertanya. Pandangannya hanya terfokus pada sisi wajah Tery yang tersibak bulan.
.
"Alasan yang paling memungkinkan adalah dendam, tapi aku tidak tahu pasti. Dan untuk pertanyaan kedua ... mereka mafia, " sinar coklat mata Tery meredup ketika kalimat terakhir, entah disadari atau tidak oleh Ryo yang kadar kepekaannya rendah.
.
Sedikit jeda, langkah mereka semakin lambat, pertanyaan kembali meluncur. "Apa masalahmu dengan para mafia itu?"
.
"Sudah kubilang bukan, kemungkinannya mereka dendam padaku," Tery menjawab kesal, tidak banyak menaikkan oktaf suaranya, namun mampu bergaung dalam hutan.
.
"Lalu, kenapa-"
.
"Kenapa kau terlihat tidak terkejut?" Sebelum perkataan Ryo tuntas, Tery sudah memotongnya jengkel. Tapi sebetulnya pertanyaan itu memang patut di lontarkan, pasalnya ekspresi yang ditunjukkan Ryo sangat jauh dari ekspetasinya. Dia kira setelah tamparan fakta-fakta tersebut, Ryo akan ketakutan, lalu berlari menjauhinya, tersesat dan terakhir dimakan hewan buas. Kejam? Tidak, dia sadis.
.
Menghela napas panjang, Ryo menyiapkan mental. "Itu karena aku-"
.
Jleb!
.
Pisau itu menancap tanah, tapi berhasil menggores lengan Ryo terlebih dulu. Darah segar mengalir dari luka itu.
.
Ryo mengumpat. Tery bersiaga.
.
Bersambung ...
.
"Tapi bagian ironisnya, kau malah menyukai seseorang yang aku yakini akan membunuhmu suatu saat nanti. Sungguh menyedihkan," lafal orang itu, dengan nada prihatin palsu.
.
Aura sekelam malam menguar dari orang itu, meraba-raba tubuhnya dan membuat ia meremang seketika. Pria yang belum dikenalnya ini, jelas-jelas berbahaya. Berbahaya bagi keidupannya, rasa cintanya, dan juga kewarasannya.
.
"Tapi nantikan saja, aku akan mengejarmu. Pasti." Garis bibir orang itu melengkung, bagai lengkungan misteri yang penuh rencana jahat di dalamnya.
.
***
Mega sore mulai menua, lalu beranjak digantikan gelapnya sang malam. Angin dingin menelisik pepohonan, daun-daunnya saling bergesekan bergemerisik menyapa telinga. Mata-mata nokturnal mengawasi dalam diam, mencari makanan, ataupun mangsa. Antara ketenangan hutan yang didamba, dan horror menakutkan yang dihindari.
.
Tery melangkah tenang di antara dinding lorong yang ia lewati, setenang sang bayu yang membuat rambut hitamnya menari-nari indah. Kemudian, jalannya terhenti, tepat di depan sebuah kamar. Kamar Ryo.
.
Lengannya terangkat hendak memegang kenop, namun terhenti di tengah jalan, mengambang di udara. Mendadak keraguan yang jarang melandanya, kini memerangkapnya.
.
Tapi apa yang ia ragukan?
.
Kepala cantiknya menggeleng lambat. Tidak ada yang perlu diragukannya, bukan? Aneh.
.
Gadis itu melanjutkan gerakannya yang tertunda. Kulitnya melingkup gagang besi tersebut, hampir memutarnya ketika pintu itu terbuka oleh orang lain di dalamnya. Ryo.
.
Tery tersentak mundur, menyembunyikan tangannya di balik punggungnya. Kekagetannya segera ia balut dengan wajah datar dan dingin. Akting yang sempurna.
.
Ryo yang awalnya menunduk, kini mengangkat wajahnya."Eh? Apa yang kau lakukan di sini, Tery?" tanyanya dengan senyum yang dipaksakan.
.
Tidak ingin menjawab terlebih dulu, Tery malah balik bertanya. "Mau kemana kau?"
.
"Oh, aku hanya ... tidak bisa tidur," jawab pemuda itu segera, membuang mukanya ke samping.
.
Sebelah alis Tery terangkat, merasa jika jawaban itu kurang meyakinkan. Seandainya Tery tahu, bahkan Ryo tak yakin dengan jawabannya sendiri.
.
Sedikit bergumam, Tery menimpali, "kalau begitu, bagaimana jika kita berjalan-jalan sedikit? Aku akan menjelaskan sesuatu padamu."
.
Mendapat lampu hijau, Ryo segera mengangguk. Manik hitamnya yang semula mengawan kecemasan, kini berbinar senang.
.
"Ayo!"
.
Seperti kebiasaan, Ryo langsung menarik tangan Tery tanpa memedulikan protes sang empu. Kendati bersungut-sungut, gadis itu masih tetap mengikutinya. Tidak tahu menahu apabila sepasang bola mata berbeda warna memandangi sinis ... dan jahat.
.
***
Derak langkah mereka menggema dalam kesunyian gelap hutan. Derik jangkrik mengiringi perjalanan mereka, nyaring dan—menurut Ryo—sedikit romantis.
.
"Mereka mengincarku," aku Tery saat langkah pertama memasuki rimbunan pohon.
.
""Mereka"? Siapa maksudmu?"
.
Sedikit mendengus, Tery menjawab kesal, "tentu saja orang-orang gila yang mengejar kita waktu itu."
.
"Oh! Tapi apa alasannya? Dan siapa mereka?" Ryo masih setia bertanya. Pandangannya hanya terfokus pada sisi wajah Tery yang tersibak bulan.
.
"Alasan yang paling memungkinkan adalah dendam, tapi aku tidak tahu pasti. Dan untuk pertanyaan kedua ... mereka mafia, " sinar coklat mata Tery meredup ketika kalimat terakhir, entah disadari atau tidak oleh Ryo yang kadar kepekaannya rendah.
.
Sedikit jeda, langkah mereka semakin lambat, pertanyaan kembali meluncur. "Apa masalahmu dengan para mafia itu?"
.
"Sudah kubilang bukan, kemungkinannya mereka dendam padaku," Tery menjawab kesal, tidak banyak menaikkan oktaf suaranya, namun mampu bergaung dalam hutan.
.
"Lalu, kenapa-"
.
"Kenapa kau terlihat tidak terkejut?" Sebelum perkataan Ryo tuntas, Tery sudah memotongnya jengkel. Tapi sebetulnya pertanyaan itu memang patut di lontarkan, pasalnya ekspresi yang ditunjukkan Ryo sangat jauh dari ekspetasinya. Dia kira setelah tamparan fakta-fakta tersebut, Ryo akan ketakutan, lalu berlari menjauhinya, tersesat dan terakhir dimakan hewan buas. Kejam? Tidak, dia sadis.
.
Menghela napas panjang, Ryo menyiapkan mental. "Itu karena aku-"
.
Jleb!
.
Pisau itu menancap tanah, tapi berhasil menggores lengan Ryo terlebih dulu. Darah segar mengalir dari luka itu.
.
Ryo mengumpat. Tery bersiaga.
.
Bersambung ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar